Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. MI/Ebet
Media Indonesia • 2 September 2025 08:18
PESTA HUT ke-80 kemerdekaan RI belum usai. Bendera masih tertancap di depan rumah warga. Namun, kemeriahan dan kebahagiaan yang terpancar pada warga berubah drastis menjadi kemarahan.
Dalam sepekan silam Indonesia diguncang demonstrasi besar-besaran sejak 25 Agustus. Mereka mengecam besaran tunjangan anggota DPR yang selangit. Demonstrasi tak hanya terpusat di gedung wakil rakyat, Senayan, Jakarta, tetapi juga meluas ke sejumlah gedung DPRD provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Air.
Massa yang terdiri dari kalangan mahasiswa, buruh, profesional, pekerja seni, artis, aktivis perempuan, Koalisi Masyarakat Sipil, pengemudi ojek online, dan belakangan kaum pelajar juga ikut serta, tak hanya menolak tunjangan DPR, tetapi juga menuntut pembubaran DPR.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Adies Kadir (Fraksi Partai Golkar) menyebutkan para anggota dewan mendapatkan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan dan tunjangan beras sebesar Rp12 juta per bulan.
Selain kedua tunjangan itu, para legislator Senayan mendapatkan tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, tunjangan bensin, tunjangan listrik, uang reses, uang sidang, dan sebagainya.
Penghasilan anggota dewan, alih-alih turun di tengah komitmen penghematan anggaran antara eksekutif dan legislatif, dan kehidupan sulit yang dialami rakyat, justru sebaliknya malah meroket.
Menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), penghasilan anggota DPR bisa mencapai sekitar Rp230 juta per bulan atau sekitar Rp2,8 miliar per tahun. Berdasarkan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) DPR 2023-2025, negara harus merogoh kocek dalam-dalam sampai sobek, hingga Rp1,6 triliun untuk membayar gaji dan tunjangan 580 anggota DPR sepanjang 2025. Anggaran DPR naik signifikan setiap tahun sejak 2023.
Setelah pernyataan Adies Kadir membuat heboh dan reaksi publik yang negatif, dia dan petinggi Senayan lainnya mengklarifikasi tidak benar, rakyat kadung tak percaya.
Legislator Senayan sudah menabur 'angin', mereka pula yang menuai 'badai'. Gelombang demonstrasi tak terbendung di Jakarta dan sejumlah daerah.
Rakyat tidak peduli hujan, panas, pentungan aparat, semburan water cannon, dan gas air mata, mereka terus maju, menyalakan obor perlawanan. "Rakyat bersatu," kata sang orator. "Tak bisa dikalahkan," timpal peserta aksi dengan tangan terkepal meninju langit.
Unjuk rasa mencapai puncaknya bahkan berujung chaos dan penjarahan setelah pengemudi ojol Affan Kurniawan, 21, dilindas kendaraan taktis Brigade Mobil milik Polda Metro Jaya di kawasan Rumah Susun Bendungan Hilir II, Jakarta Pusat.
Sedianya anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Zulkifli dan Erlina itu akan mengantarkan orderan makanan (Gofood) ke pelanggan, tetapi terjebak di kawasan tersebut hingga terlindas oleh rantis Brimob.
Propam Polri menyatakan tujuh anggota Brimob penabrak Affan melanggar kode etik profesi Polri dan mendapatkan 'penempatan khusus (patsus)'.
Mereka menunggu digelarnya sidang etik dan sidang pidana mereka.
Kematian Affan memantik kemarahan publik. Tak hanya tuntutan pembatalan tunjangan DPR, ribuan pengunjuk rasa di Jakarta dan berbagai daerah mengutuk praktik rasuah yang ugal-ugalan dilakukan para penyelenggara negara.
Perilaku beberapa anggota DPR yang berjoget-joget, nyinyir, hingga menyatakan tolol kepada rakyat juga mereka kecam. Mereka dinilai tidak berempati dengan rakyat yang telah memilih mereka.
Walakin, patut disayangkan demonstrasi disusupi pihak-pihak tidak bertanggung jawab, seperti pembakaran gedung DPRD, markas kepolisian, dan kantor pemerintahan, penjarahan kediaman empat legislator, dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Terkait dengan penjarahan, terutama ke kediaman pejabat tinggi yang memiliki jabatan strategis sebagai bendahara negara, semestinya itu bisa diantisipasi karena provokasi penjarahan kediaman Menkeu di wilayah Bintaro, Tangeran Selatan, itu sudah mencuat sejak siang ketika kediaman politikus Ahmad Sahroni di wilayah Tanjung Priok dijarah.
Aparat kecolongan mengantisipasi dan menghalau para penjarah. Patut dipertanyakan fungsi intelijen negara dalam mendeteksi pergerakan penjarah. Anehnya, setelah kejadian, barulah kediaman Sri Mulyani dijagat ketat aparat TNI.
Pemerintah tidak terlalu sulit menyelidiki pihak-pihak yang memprovokasi penjarahan di media sosial. Mereka juga mencantumkan alamat target penjarahan. Di lapangan juga terlihat kelompok massa tertentu yang aktif melakukan provokasi melakukan kekerasan kepada aparat dan pembakaran gedung.
Di sisi lain, bergemuruhnya gelombang unjuk rasa sejak sepekan silam hingga kemarin tak terlihat peran Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan mengoordinasi pengamanan atau mendinginkan suasana secara langsung kepada publik. Purnawirawan perwira tinggi polisi bintang empat tersebut hanya menyebarkan siaran pers pada Jumat, 29 Agustus 2025, terkait dengan kematian Affan Kurniawan.
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang berujung kerusuhan berpotensi terulang jika akar masalah sosial dan ekonomi tak bisa diselesaikan pemerintah.
Kondisi ekonomi yang menurut pemerintah baik-baik saja karena pertumbuhan ekonomi ternyata 'membantai' prediksi ekonom, 5,12%, tak membuat rakyat semringah, bahkan rakyat menilai 'aneh bin ajaib'.
Rakyat masih menghadapi berbagai tekanan hidup, seperti kesulitan lapangan kerja, dicekik pungutan pajak, biaya pendidikan mahal, ongkos kesehatan meroket, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan hukum.
Pencabutan tunjangan DPR dan penonaktifan legislator hanya meredam aksi sejenak. Presiden Prabowo harus memastikan tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kebijakan pemerintah jangan melindas keadilan, terutama bidang hukum. Kemewahan yang diberikan kepada anggota dewan sebagai bukti keadilan terpinggirkan, sense of crisis tercampakkan.
Penegakan hukum yang 'bayar-bayar', tajam ke bawah tumpul ke atas, masih dirasakan masyarakat. Hal itu benar-benar melindas keadilan.
Bagi Hatta dalam Demokrasi Kita (1960) mengatakan penegakan hukum bukan sekadar formalitas, melainkan harus bersendikan keadilan, moralitas, dan kepentingan rakyat. Tabik!
(
Ade Alawi)