Trump Bela Israel Setelah Pelanggaran Gencatan Senjata

Presiden AS Donald Trump. Foto: dok EPA-EFE.

Trump Bela Israel Setelah Pelanggaran Gencatan Senjata

Riza Aslam Khaeron • 29 October 2025 10:39

Washington DC: Presiden Amerika Serikat Donald Trump membela Israel dalam pernyataan terbarunya pada hari Rabu, 29 Oktober 2025 menyusul pelanggaran gencatan senjata yang terjadi di Gaza. Pernyataan ini disampaikan Trump kepada awak media saat berada di atas pesawat Air Force One dalam perjalanan dari Jepang ke Korea Selatan.

"Mereka membunuh seorang tentara Israel. Maka Israel membalas. Dan mereka memang seharusnya membalas," ujar Trump, mengacu pada insiden penembakan terhadap tentara IDF di Rafah yang memicu serangan balasan udara Israel ke Jalur Gaza.

Ia menegaskan bahwa meskipun ada insiden tersebut, "tidak ada yang akan membahayakan gencatan senjata" di Gaza.

Mengutip media Israel, Trump juga menyampaikan bahwa Hamas hanyalah "bagian kecil dari perdamaian di Timur Tengah" dan menekankan bahwa kelompok tersebut harus menunjukkan perilaku baik.

Ia mengklaim bahwa dalam pertemuan terakhir di Mesir, para penasihatnya, Steve Witkoff dan Jared Kushner, telah memberikan jaminan verbal kepada delegasi Hamas bahwa AS akan menjaga agar Israel tetap patuh pada kesepakatan selama Hamas melakukan hal yang sama.

Trump menyatakan bahwa jika Hamas mematuhi kesepakatan, mereka akan mendapatkan manfaat, tetapi jika tidak, maka kelompok itu akan "dilenyapkan."

Ia juga menyebut bahwa sejumlah negara, termasuk Jepang, telah menyatakan kesediaan membantu proses demiliterisasi Hamas, walaupun informasi ini dibantah oleh diplomat Arab dan Eropa yang menegaskan bahwa kontribusi yang dijanjikan hanya sebatas bantuan kemanusiaan dan pelatihan, bukan operasi tempur.

Sementara itu, Wakil Presiden AS JD Vance menyatakan bahwa meskipun terjadi "benturan kecil," gencatan senjata masih berlangsung.

"Kami tahu Hamas atau pihak lain di Gaza menyerang tentara IDF. Kami mengharapkan Israel akan merespons, namun saya kira perdamaian yang digagas presiden akan tetap bertahan," kata Vance di Capitol Hill.

Pernyataan ini muncul setelah Israel melancarkan serangan udara ke Gaza sebagai respons atas serangan terhadap pasukan mereka di Rafah. Hamas mengklaim tidak berada di balik serangan tersebut, dan menyatakan masih berkomitmen terhadap kesepakatan gencatan senjata yang mulai berlaku sejak 10 Oktober.

Melansir Media Israel, ketegangan meningkat ketika IDF merilis rekaman yang menunjukkan Hamas memalsukan proses penyerahan jenazah sandera di depan Komite Palang Merah Internasional (ICRC).
 

Baca Juga:
Hamas Tunda Serah Terima Jenazah Sandera Akibat Pelanggaran Gencatan Senjata Israel

Dalam tayangan tersebut, Hamas tampak meletakkan jasad Ofir Tzarfati di lokasi penyerahan sebelum kedatangan tim Palang Merah.

ICRC kemudian mengeluarkan kecaman langka terhadap Hamas, menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui rekayasa tersebut sebelumnya dan menyebut tindakan itu sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.

Dalam pesan diplomatik kepada mediator Mesir, Qatar, dan Turki, Hamas menegaskan tidak pernah melanggar gencatan senjata dan menyalahkan Israel atas berbagai pelanggaran, termasuk penutupan perlintasan Rafah dan pembunuhan sekitar 100 warga Gaza. Israel menolak klaim tersebut dan menyatakan bahwa pasukannya hanya merespons ancaman langsung dari militan.

Pihak Kantor Perdana Menteri Israel menyebut bahwa serangan udara di Gaza telah diberitahukan kepada pemerintahan Trump setelah perintah diberikan.

Seorang pejabat AS menyatakan bahwa komunikasi dilakukan melalui Pusat Koordinasi Sipil-Militer yang dibentuk AS di Kiryat Gat.

Sumber dari Channel 12 melaporkan bahwa sebelum serangan di Rafah, Netanyahu sempat ragu untuk melancarkan operasi militer tanpa restu dari Trump.

Namun, setelah insiden tersebut, Netanyahu memutuskan menggelar rapat kabinet keamanan terbatas dan menyetujui pembaruan serangan udara serta perluasan kendali militer IDF di Gaza.

Trump sebelumnya dilaporkan menahan Israel untuk tidak mengambil tindakan ekstrem, dan lebih mendorong ultimatum 72 jam kepada Hamas agar menyerahkan seluruh jenazah sandera sebelum memberi lampu hijau pada Israel. Namun setelah insiden Rafah, pendekatan ini tampaknya bergeser.

Netanyahu sendiri menegaskan bahwa Israel tetap merupakan negara berdaulat yang berhak menentukan kebijakan keamanan nasionalnya, di tengah meningkatnya persepsi bahwa keputusan besar mengenai Gaza lebih banyak ditentukan di Washington.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)