Wamenkum Bantah Revisi KUHAP Melemahkan Fungsi KPK

Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej. Foto: Metrotvnews.com/Candra Yuri Nuralam

Wamenkum Bantah Revisi KUHAP Melemahkan Fungsi KPK

Candra Yuri Nuralam • 27 July 2025 13:42

Jakarta: Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej mengklarifikasi bahwa pasal-pasal tertentu dalam Rancangan Undnag-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memiliki pengecualian untuk penyelidikan oleh Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan TNI.  

"Sejumlah pasal dalam RUU KUHAP memang ada pengecualian, misalnya terkait upaya paksa dan penyadapan itu ada pengecualian untuk penyidikan pada Kejaksaan Agung, penyidikan pada Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Penyidikan pada TNI," kata Edward dikutip Minggu, 27 Juli 2025. 

Eddy, sapaannya, menekankan upaya paksa dan penyadapan hanya diatur terbatas dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, khususnya dalam RUU KUHAP. Selebihnya, pengaturan mengenai upaya paksa dan penyadapan diatur secara lengkap di dalam undang-undang sektoral. 

"Ketika berbicara soal pengaturan penyadapan misalnya, sebetulnya ini hanya ada satu pasal di dalam RUU KUHAP. Bahwa penyadapan lebih di lebih lanjut diatur dalam UU tersendiri karena merupakan perintah dari putusan Mahkamah Konstitusi," jelasnya. 

Selain itu, Eddy menilai pihaknya memahami dan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agar pemerintah dan DPR membentuk UU khusus mengenai penyadapan. Perintah ini muncul setelah pengujian UU KPK terkait isu penyadapan, dengan tujuan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan mengatur lebih jelas tentang penyadapan. 

"Kami memahami ini karena ketika persoalan penyadapan dalam UU KPK dulu diuji, perintah dari MK adalah pemerintah dan DPR harus membentuk UU khusus mengenai penyadapan supaya ini tidak tumpang tindih," ujarnya.
 

Baca juga: KPK Minta Audiensi Soal Revisi KUHAP, Dasco: Pembahasan Bisa Saat Reses

Eddy menerangkan terdapat asas lex specialis derogat legi generali dalam konteks pencegahan (pencekalan) dan penyadapan dalam RUU KUHAP. Hal itu kata Eddy, mengindikasikan jika ada aturan khusus (lex specialis) yang mengatur pencekalan dan penyadapan, maka aturan tersebut yang akan berlaku dan mengesampingkan aturan umum (lex generali) yang mungkin ada dalam RUU KUHAP. 

"Persoalan pencekalan dan penyadapan misalnya, ada hukum acara terkait terorisme, tindak pidana korupsi, narkotika yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Sehingga aturan penyadapan di dalam RUU KUHAP itu akan mengikuti undang-undang sektoral," jelasnya.

Atas dasar itu, ia menepis argumentasi berbagai pihak terkait RUU KUHAP yang melemahkan fungsi KPK dalam pengawasan dan pencekalan. Ia justru menekankan RUU KUHAP akan mengedepankan penegakan hak asasi manusia. 

"Bukti yang diperoleh melalui prosedur ilegal misalnya, penggeledahan tanpa izin yang sesuai itu tidak akan dianggap sebagai bukti yang sah," ujarnya.
 
Baca juga: Pakar Membeberkan Urgensi Revisi KUHAP

Revisi KUHAP dinilai melemahkan KPK

Sebelumnya, KPK menemukan aturan yang bisa melemahkan proses penindakan hukum dalam RUU KUHAP. Calon beleid baru itu nantinya hanya mengizinkan pencegahan dan pencekalan diterapkan kepada tersangka.

"Di RKUHAP itu yang bisa dilakukan cekal (cegah dan tangkal) adalah hanya tersangka," kata juru bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 16 Juli 2025.

Terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menilai revisi KUHAP akan melemahkan mekanisme penyadapan terhadap KPK. Hal itu karena penyadapan hanya di tingkat penyidikan dan menyerahkannya ke UU khusus, sehingga mengabaikan wewenang KPK untuk menyadap sejak penyelidikan yang berpotensi menghambat operasi tangkap tangan (OTT).

Dalam RKUHAP, Pasal 124 ayat (1) menyebutkan penyidik dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan. Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa Penyadapan akan diatur dalam UU tentang Penyadapan

"Hal ini perlu dikritisi, sebab sesuai UU penyadapan KPK dapat dilakukan bahkan di tahap penyelidikan. Hal ini berfungsi sebagai mekanisme pengumpulan informasi yang aktual dan tepat waktu, sehingga tindak pidana korupsi dapat dilakukan tangkap tangan," kata Wana.

Jika penyadapan baru dilakukan setelah naik status menjadi penyidikan, Wana menilai ada potensi keterlambatan pengungkapan kasus korupsi. Lalu, apabila terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan penyadapan sehingga informasi yang dibutuhkan tidak segera diperoleh, ada potensi hilangnya atau dimusnahkannya barang bukti. 

"Dalam hal barang bukti tersebut berupa uang, terdapat kemungkinan uang tersebut telah dicuci atau dipindahkan ke lokasi lain, yang pada akhirnya akan menyulitkan proses pengungkapan perkara," kata Wana

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)