Yasser Abu Shabab. (Facebook)
Riza Aslam Khaeron • 5 December 2025 11:29
Jakarta: Yasser Abu Shabab, pemimpin milisi Popular Forces yang berbasis di dekat Kota Rafah di Jalur Gaza selatan, dilaporkan tewas ditembak saat berupaya menyelesaikan perselisihan di antara anggota keluarga Abu Seneima.
Tokoh milisi ini dikenal sebagai salah satu pemimpin pasukan anti-Hamas yang beroperasi di wilayah yang dikendalikan militer Israel di sekitar Rafah, sehingga kematiannya segera menarik perhatian karena menyentuh irisan rumit antara konflik internal Palestina dan dinamika pendudukan Israel.
Dalam pernyataannya, Popular Forces menyebut Abu Shabab tertembak ketika mencoba “menyelesaikan sengketa” dan menolak anggapan bahwa ia dibunuh oleh Hamas, meski gerakan itu sebelumnya menuduhnya berkolaborasi dengan Israel.
Di sisi lain, pernyataan dari suku Badui Tarabin justru menyebut Abu Shabab tewas “di tangan perlawanan” dan menuduhnya mengkhianati rakyat Palestina. Lantas siapa sebenarnya Abu Shabab? Berikut ini profil lengkapnya.
Latar Belakang dan Jejak Kriminal
Foto: Abu Shabab. (Facebook)
Yasser Abu Shabab berasal dari keluarga Badui miskin dari kabilah Tarabin di bagian timur Rafah, Jalur
Gaza. Ia disebut lahir di Rafah dan ketika tewas pada 4 Desember 2025 usianya sekitar awal 30-an.
Sejumlah sumber yang dekat dengan dirinya menyebut Abu Shabab putus sekolah pada usia muda dan kemudian terjun ke perdagangan narkoba, terutama ganja (hashish) dan pil psikoaktif, sekaligus penyelundupan rokok dan obat-obatan lain ke Jalur Gaza.
Pada 2015, Yasser ditangkap atas kasus narkoba dan ia dijatuhi hukuman 25 tahun penjara di Penjara Asda di barat Khan Younis.
Saat perang
Gaza meletus pada Oktober 2023, penjara tempat Abu Shabab ditahan dibom Israel. Dalam kekacauan itu, ia berhasil melarikan diri, meski detail pasti soal bagaimana ia keluar dari penjara tidak pernah dijelaskan secara terbuka.
Pasca-pelarian, Abu Shabab menghimpun para pengikutnya—antara lain mantan anggota aparat keamanan Otoritas Palestina—dan membentuk milisi bersenjata yang dikenal sebagai Popular Forces.
Laporan berbeda menyebut jumlah anggotanya berkembang dari sekitar 100 orang menjadi kurang lebih 300 orang bersenjata, termasuk eks-narapidana yang dilepas dari penjara Hamas. Sekitar 30 keluarga di timur Rafah disebut sebagai basis pendukung inti kelompok ini.
Klaim Mengamankan Bantuan dan Tuduhan Penjarahan
Logo Popular Forces. (Facebook)
Setelah keluar dari penjara, Abu Shabab dan orang-orangnya mengalihkan fokus ke konvoi bantuan kemanusiaan yang masuk ke
Gaza. Dari pihaknya, ia mengklaim memberikan “pengamanan” untuk truk bantuan, menuding Hamas menyelewengkan bantuan dan menembaki warga yang mencoba mengambil jatah mereka.
Ia kemudian disebut bekerja sebagai pengawal truk bantuan untuk berbagai lembaga, termasuk Palang Merah, UNRWA, dan badan-badan PBB lain.
Dalam sebuah tulisan opininya di Wall Street Journal pada Juli 2025, Abu Shabab menyebut Popular Forces sebagai kelompok Palestina independen yang “pragmatis”, dengan tujuan memisahkan warga yang tidak terlibat Hamas dari api perang.
"Popular Forces, kelompok Palestina independen di bawah kepemimpinan saya, telah mengamankan beberapa kilometer persegi tanah yang sejak lama dihuni oleh suku Badui saya, Tarabin. Kami bukan gerakan ideologis, melainkan kelompok yang bersifat pragmatis. Tujuan utama kami adalah memisahkan warga Palestina yang tidak ada kaitannya dengan Hamas dari kobaran api perang," tulis Abu Shabab.
Ia mengeklaim wilayah timur Rafah di bawah kendalinya menjadi kantong relatif aman, dengan akses ke tempat berlindung, makanan, air, dan kebutuhan dasar, tanpa kehadiran Hamas maupun kelompok bersenjata lain.
Deskripsi tersebut berlawanan dengan penilaian sebagian pejabat kemanusiaan. Melansir Ynet, Kepala kantor OCHA PBB, Jonathan Whittall, menyebut bahwa geng-geng seperti kelompok Abu Shabab justru menjadi pelaku utama “pencurian bantuan yang sesungguhnya sejak awal perang”, dan hal itu berlangsung di bawah pengawasan pasukan Israel.
Dukungan Israel Terhadap Abu Shabab
Seiring waktu, Popular Forces menjadi bagian dari konfigurasi baru kekuatan di
Gaza selatan yang melibatkan Israel, Otoritas Palestina, dan aktor-aktor politik lain. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada bulan Juni secara terbuka mengonfirmasi bahwa Israel memasok senjata kepada kelompok Abu Shabab, dan menyebut langkah itu “menyelamatkan nyawa tentara IDF”.
Pengakuan ini muncul setelah bocoran dari politisi Israel Avigdor Lieberman, yang kemudian mengecam keputusan tersebut dan menuding Abu Shabab memiliki keterkaitan dengan kelompok Negara Islam (ISIS).
Di sisi lain, sumber di Otoritas Palestina yang dikutip media Ynet menyebut para anggota Popular Forces menerima gaji melalui PA, di bawah patronase pejabat intelijen Gaza, Bahaa Balusha. Hal ini memicu ketegangan internal dengan Kepala Intelijen Umum PA, Majed Faraj, terkait sejauh mana dukungan terhadap milisi itu.
Melansir Ynet, seorang pejabat keamanan Palestina senior bahkan menyebut Popular Forces sebagai kekuatan bersenjata yang “secara praktis didukung sekaligus oleh Israel, Otoritas Palestina, dan mantan pejabat Fatah Mohammed Dahlan, sambil secara terbuka memerangi Hamas”.
Tudingan ISIS dan Rekam Jejak Anggota Milisi
Laporan mengenai struktur Popular Forces menunjukkan adanya figur-figur yang sebelumnya terkait jaringan ekstremis dan operasi bersenjata terhadap Israel.
Melansir Ynet, di antara tokoh kunci milisi ini terdapat Issam Nabahin, warga kamp pengungsi Nuseirat berusia 33 tahun, yang pernah bertempur bersama ISIS di Sinai melawan militer Mesir sebelum kembali ke
Gaza.
Ia diduga pernah meluncurkan roket ke Israel tanpa koordinasi Hamas dan sebelumnya dijatuhi hukuman mati sebelum berhasil melarikan diri dari penjara di hari pertama perang.
Tokoh lain adalah Ghassan al-Dheini, saudara dari Walid al-Dheini—seorang militan ISIS yang tewas dibunuh Hamas. Ghassan disebut terlibat dalam penculikan prajurit Israel Gilad Shalit pada 2006 dan tetap aktif di milisi baru ini meski secara formal berafiliasi dengan Fatah.
Dikejar Hamas dan Ditolak Keluarga Sendiri
Di mata Hamas, Abu Shabab adalah simbol kolaborasi dengan Israel. Kementerian Dalam Negeri di
Gaza membawanya ke “Pengadilan Revolusioner”, menjeratnya dengan dakwaan pengkhianatan, kolaborasi dengan pihak musuh, pembentukan geng bersenjata, dan pemberontakan bersenjata.
Pada 2 Juli 2025, ia diberi tenggat 10 hari untuk menyerahkan diri, dengan ancaman akan diadili in absentia bila tak patuh. Warga Gaza juga didorong untuk melaporkan keberadaannya kepada aparat Hamas.
Popular Forces menanggapi perintah tersebut secara menantang dengan menyebut langkah pengadilan itu sebagai “komedi situasi” yang tidak menakutkan para anggota mereka maupun “setiap orang yang mencintai negerinya”.
"Mayoritas besar warga Gaza menolak Hamas. Mereka tidak ingin Hamas tetap berkuasa setelah perang berakhir. Namun, meskipun mereka membenci Hamas, mereka masih takut dengan kelompok tersebut," tulis Abu Shabab di WSJ.
Penolakan justru datang pula dari lingkaran terdekatnya. Keluarga Abu Shabab yang berasal dari kabilah Tarabin secara terbuka menyatakan tidak mendukung kerja samanya dengan pasukan Israel. Bahkan, mereka menyebut tidak keberatan jika ia “dilenyapkan” oleh orang-orang di sekitarnya karena dianggap membantu pendudukan.
Kematian di Gaza
Pada 4 Desember 2025, Yasser Abu Shabab dilaporkan tewas tertembak di dekat Rafah. Yasser Abu Shabab Laporan mengenai bagaimana ia terbunuh saling bertentangan. Radio militer Israel menyebut ia meninggal akibat luka yang diderita dalam sebuah penyergapan yang dilakukan “faksi perlawanan” yang memusuhinya.
Sementara itu, media lain seperti Ynet dan KAN memberitakan bahwa Abu Shabab tewas dalam perselisihan yang terkait sengketa antarkeluarga lokal.
"Dengan bait-bait kebanggaan dan kehormatan, Popular Forces meratapi syahidnya sang pahlawan, Yasser Abu Shabab, pendiri Tentara Rakyat di Jalur Gaza,"demikian pernyataan Popular Forces di Facebook
"Ia gugur karena luka tembak saat berada di lapangan seperti biasa dalam upayanya menyelesaikan konflik antara keluarga Abu Sanima. Tidak benar kabar menyesatkan yang mengklaim bahwa ia syahid di tangan geng teroris Hamas, karena mereka terlalu lemah untuk mencapai panglima tertinggi. Semoga Allah merahmatinya bersama para sahabatnya," tambah Popular Forces.