Ambruknya legitimasi pemilu. MI/Seno
Media Indonesia • 2 February 2024 09:36
KIAN hari, kian terasa publik mulai jengah dengan manuver-manuver politik niretika yang dipertontonkan elite dan penguasa secara telanjang. Tanpa rasa malu praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan untuk mengintervensi proses demokrasi dalam Pemilihan Presiden 2024 dipertontonkan dengan semakin masif.
Rasa jengah itu kini memuncak dengan kemunculan para tokoh bangsa, begawan dan cendekiawan, serta aktivis prodemokrasi yang mulai bersikap. Mereka semakin lantang menggaungkan seruan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghentikan ketidaknetralannya.
Genderang perlawanan yang kian kencang itu bermunculan dari kampus-kampus. Setelah Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia yang mengumandangkan seruan netralitas untuk Jokowi, gerakan serupa diikuti sivitas akademika Universitas Indonesia dan Universitas Andalas.
Legitimasi pemilu pun kian terancam, apalagi bila seruan itu diabaikan. Sejak awal, proses pemilu telah tercoreng dengan lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan yang proses pengambilannya sarat dengan intervensi politik dan dinyatakan telah melanggar etika itu terbukti menyebabkan Ketua MK Anwar Usman dicopot dari jabatannya.
Kini, guyuran bantuan sosial melalui pembagian beras dan rapel bantuan langsung tunai (BLT) menambah panjang daftar cawe-cawe Presiden. BLT senilai Rp200 ribu per bulan untuk tiga bulan itu dibayarkan sekaligus pada Februari ini sehingga warga akan mendapat Rp600 ribu. Bantuan itu disebar kepada 18 juta keluarga penerima manfaat.
Kebijakan Jokowi jelang pemungutan suara itu ditengarai sarat dengan nuansa politik praktis yang diarahkan pada personalisasi penguatan dukungan terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
Belum lagi mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu ialah tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi. Kian sempurnalah aksi meruntuhkan legitimasi penyelenggaraan pemilu itu.
Rentetan intervensi kekuasaan itulah yang jika tidak dihentikan Jokowi, akan benar-benar meluluhlantakkan legitimasi pemilu. Kepercayaan publik akan benar-benar hancur terhadap penyelenggaraan pemilu. Begitu pun hasil pemilu yang diwarnai kecurangan dan cawe-cawe kekuasaan akan dipandang tidak lebih dari sekadar hasil skenario.
Baca Juga:
Cara Jokowi Memaksakan Politik Dinasti Bisa Bawa Malapetaka |