Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy. Branda Antara
Achmad Zulfikar Fazli • 2 December 2025 14:53
Jakarta: Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Rachmat Pambudy, mengatakan bencana lingkungan disebabkan perubahan iklim dan pelanggaran umat manusia. Hal ini disampaikan Rachmat Pambudy dalam agenda Peluncuran Dana Inovasi Teknologi dan Kajian Solusi Berketahanan Iklim di Gedung Bappenas, Jakarta.
“Hari-hari ini kita menghadapi persoalan yang sulit. Untuk kesekian kalinya, kita menghadapi bencana lingkungan. Sebagian bencana memang benar-benar karena perubahan iklim, karena global climate change dan global warming, tapi sebagian juga karena ada persoalan disiplin, ada persoalan ketidaktertiban, dan ada persoalan pelanggaran yang dilakukan oleh kita sebagai umat manusia,” ucap Rachmat, Jakarta, Selasa, 2 Desember 2025.
Dalam paparannya, disebutkan wilayah Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) mengalami bencana alam akibat diterjang hujan lebat yang memicu banjir bandang, banjir, dan tanah longsor.
Salah satu pemicu yang menyebabkan masalah tersebut adalah hujan monsun (perubahan arah angin yang menyebabkan musim hujan lebat) intens memicu luapan sungai, banjir, dan longsor di wilayah berbukit.
Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, Bappenas menganggap kerugian Indonesia akan semakin membesar dan memperburuk krisis iklim, sosial, maupun lingkungan.
Tercatat 50-75 persen dari populasi global berpotensi terdampak kondisi iklim yang mengancam manusia di 2100, berdasarkan data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2022.
Selain itu, mengutip United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2022, polusi udara menyebabkan hingga 4,2 juta kematian setiap tahun, atau menjadi penyebab penyakit dan kematian dini terbesar di dunia.
Data The Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services/IPBES pada 2019 juga mengungkapkan sekitar satu juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan.
Laporan terbaru dari World Meteorological Organization (WMO) pada 2024 turut menerangkan 2024 menjadi tahun yang paling panas dengan suhu rata-rata global 1,55 derajat celsius, di atas baseline pra industri periode 1850-1900.
“Apa yang kita lakukan saat ini itu akan berpengaruh tidak hanya pada generasi mendatang, tidak hanya berpengaruh pada suatu negara, tapi juga berpengaruh pada banyak negara di dunia. Ini adalah sinyal kuat kita harus mempercepat langkah, karena setiap keterlambatan akan dibayar dengan biaya sosial dan ekonomi yang semakin besar,” kata dia.
Oleh karena itu, peluncuran Innovation and Technology Fund (ITF) antara Indonesia dan Inggris dinilai menjadi momen strategis untuk memperkuat komitmen kolektif dalam mewujudkan Indonesia yang hijau, tangguh, dan berdaya saing. ITF merupakan mekanisme pendanaan untuk mendukung implementasi pembangunan rendah karbon di tingkat provinsi.
Dalam kesempatan tersebut, pihaknya bersama pemangku kepentingan terkait juga meluncurkan pembaruan Kajian Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) dan Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Perpindahan Penduduk pada Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia.
“Marilah kita jadikan momentum ini sebagai penguat tekad bersama untuk mendorong inovasi dan teknologi dalam memperkuat ketahanan Indonesia terhadap perubahan iklim,” ujar Rachmat.