Praperadilan Nadiem, Saksi Menyoal Kerugian Negara

Ilustrasi. Medcom

Praperadilan Nadiem, Saksi Menyoal Kerugian Negara

Candra Yuri Nuralam • 7 October 2025 23:04

Jakarta: Saksi ahli hukum pidana Chairul Huda dihadirkan dalam sidang praperadilan Nadiem Anwar Makarim. Dia menyoal kerugian negara dalam perkara dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook, karena tak ada bukti berupa penghitungan dan penetapan kerugian keuangan negara.

"Alat bukti yang paling relevan untuk membuktikan adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor adalah bukti yang dikeluarkan auditor negara, dalam hal ini BPK," kata Chairul di PN Jaksel, Selasa, 7 Oktober 2025.

Menurut Chairul, perkiraan dalam kerugian keuangan negara (potential loss), tidak bisa hanya berdasarkan perkiraan atau analisis. Perhitungan, kata dia, harus lembaga yang berwenang.

Jika bukti kerugian keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum ada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka penetapan tersebut cacat secara hukum. Terlebih, lagi jika penetapan tersangka perihal adanya kerugian keuangan negara hanya didasarkan pada hasil expose, yang merupakan sekedar praktek penyidikan yang tidak dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah.

“Sering kali alat bukti ini diterjemahkan secara sepotong-sepotong, hanya alat bukti. Padahal perlu adanya alat bukti yang sah. Dalam hal ini, dalam kasus tipikor harus ada audit BPK yang merupakan salah satu alat bukti yang dianggap sah,” kata Chairul.

Sedangkan, lembaga yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk menetapkan adanya kerugian keuangan negara secara sah adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

"Sekalipun BPKP, Inspektorat, atau ahli lain bisa 'menghitung', tapi hanya BPK yang berwenang 'menetapkan' adanya kerugian negara," paparnya.
 

Baca Juga: 

Nadiem Dibela 12 Tokoh lewat Amicus Curiae, Kejagung: Bukan Ranah Praperadilan


Dia menjelaskan berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP) telah diatur alur yang jelas dalam sebuah penyidikan. Dalam Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa penyidikan merupakan serangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang dituduhkan dapat terang benderang.

Dalam aturan tersebut menegaskan penemuan bukti tindak pidana sebelum menetapkan tersangka, merupakan proses yang benar dalam penyidikan. Jika tahapan ini tidak dilakukan sesuai prosedur, maka penetapan tersangka menjadi tidak sah.

Chairul mengingatkan, praktik menetapkan tersangka dengan bukti-bukti yang tidak kuat dapat mengarah pada rekayasa kasus atau kriminalisasi. Tindakan itu bertentangan dengan prinsip proses hukum yang adil (due process of law).

"Jika prosesnya terbalik, yaitu dilakukan penetapan tersangka terlebih dahulu, lalu baru kemudian dicari-cari bukti-bukti untuk menguatkan penetapan dimaksud, maka cara bekerja yang demikian itu merupakan tindakan sewenang-wenang," kata Chairul.

Dia juga menyoroti klaim penyidik yang memiliki 113 saksi jumlah saksi dalam mendukung penetapan tersangka Nadiem. Dia menilai, banyaknya jumlah saksi tidak secara otomatis membuktikan kekuatan sebuah kasus.

"Sungguh mengherankan, jika Penyidik mengklaim memiliki ratusan saksi, tetapi tidak tergambar adanya pemeriksaan tersangka yang mengkonfirmasi secara mendetail keterangan-keterangan saksi dimaksud," ungkapnya.

Sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka, ia seharusnya diperiksa terlebih dahulu dalam kapasitas sebagai calon tersangka. Dalam pemeriksaan ini, penyidik wajib mengkonfirmasi temuan atau keterangan saksi-saksi lain kepada calon tersangka tersebut. Tujuannya adalah untuk memenuhi asas keadilan (fair trial), saat orang yang berpotensi menjadi tersangka diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan dari versinya.

"Jika pemeriksaan calon tersangka hanya formalitas atau keterangannya tidak pernah dikonfirmasi dengan saksi lain, sama artinya pemeriksaan substantif belum dilakukan," kata Chairul.



Perwakilan Tim Kuasa Hukum Nadiem, Dodi S Abdulkadir, mempertanyakan sikap Kejagung yang tidak kunjung memberikan penjelasan atas penetapan tersangka Nadiem. Termasuk, audit dari lembaga yang berwenang atas kerugian negara.

"Mengingat tindak pidana korupsi itu adalah sekarang delik materiil, maka ini ibaratnya sama seperti adanya seseorang sudah ditetapkan tersangka melakukan pembunuhan tapi tidak ada yang mati. Jadi begitu juga penetapan tersangka terhadap Nadiem dapat diibaratkan seperti itu," kata Dodi.

Menurutnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) periode 2021–2024 itu ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya hitungan kerugian negara oleh lembaga yang sah. Padahal unsur material tersebut harusnya sudah dipenuhi sebelum ditetapkannya sebagai tersangka.

Dia berharap Kejagung dapat menjawab segala pertanyaan yang sebelumnya sudah diajukan dalam penetapan tersangka. Hakim pun diminta melihat kondisi tersebut sebagai sesuatu yang tidak memenuhi ketentuan dalam penetapan tersangka, yaitu adanya dua alat bukti yang sah, perbuatan yang disangkakan, jumlah kerugian negara, dan pihak yang menentukan kerugian negara tersebut.

"Tentunya kalau kita melihat dari fakta-fakta tersebut dan dari ketentuan-ketentuan yang ada, maka proses penetapan tersangka Pak Nadiem ini seharusnya dibatalkan karena sudah jelas bahwa perbuatan yang disangkakan itu tidak juga konkret, kemudian juga akibatnya belum bisa dikemukakan oleh Jaksa Penyidik," kata Dodi.

Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) mengklaim memiliki bukti yang cukup, termasuk keterangan dari ratusan saksi saat penetapan Nadiem sebagai tersangka kasus Chromebook. Meski, Kejagung tidak memerinci bukti yang dimiliki dan kaitan langsung bukti tersebut dengan Nadiem hingga penetapan tersangka pada 4 September 2025.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)