Ilustrasi Polri/Medcom.id
Devi Harahap • 5 March 2025 09:36
Jakarta: Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani, mengatakan ada 37 konflik antara TNI dan Polri di tingkat bawah, pada 10 tahun terakhir. Dia menilai ketegangan itu muncul karena masalah sosiologis pragmatis yang dialami TNI.
“Sebenarnya adalah soal argumen sosiologis pragmatis, ada ketimpangan kesejahteraan, ada ketimpangan peran, ada ketimpangan perlakuan, dan seterusnya, khususnya dalam 20 tahun terakhir,” kata Ismail di Jakarta, dikutip pada Rabu, 5 Maret 2025.
Ismail menjelaskan bahwa konflik-konflik tersebut melibatkan anggota di garda depan misalnya di level kabupaten, kecamatan. Menurutnya, hal ini juga terjadi karena adanya ketimpangan ketimpangan peran dan ketimpangan dalam tugas pokok dan fungsinya yang acap kali kabur di antara kedua, terutama dalam dua dekade terakhir.
Atas dasar itu, Ismail menilai Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) penting untuk mencegah munculnya kasus-kasus konflik antara TNI dengan Polri.
“Dalam 20 tahun terakhir, TNI adalah entitas yang keberadaannya sudah tidak lagi dioptimalkan sebagaimana mestinya. Di era sebelumnya, TNI yang masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan institusi militer yang juga memiliki kekuatan sosial dan politik,” jelasnya.
Lebih jauh, Ismail menjelaskan terkait esensi dari RUU TNI yang menurutnya terdapat dua pandangan filosofis yakni sebagai pengendalian objektif dan pengendalian subjektif.
“Objektif civilian control ini berjalan dengan baik, bagaimana indikatornya? Indikatornya ya politisi sipil merancang agenda-agenda politik sipil, militer dan tentara merancang kebijakan-kebijakan militer untuk penguatan pertahanan dan seterusnya termasuk diberi ruang yang luas untuk membangun profesionalisme, pengadaan alutsista,” katanya.
Baca: Sahroni Dorong Polda Metro Tingkatkan Patroli Selama Ramadan |