Global Town Hall 2025: Diplomasi Iklim Kunci Percepatan Transisi Energi

Salah satu sesi Global Town Hall 2025 membahas mengenai krisis iklim dan cara menanganinya. (YouTube / FPCI)

Global Town Hall 2025: Diplomasi Iklim Kunci Percepatan Transisi Energi

Willy Haryono • 15 November 2025 20:05

Jakarta: Sejumlah pakar dan praktisi internasional menyerukan langkah lebih tegas dalam menangani krisis iklim, menyoroti dominasi bahan bakar fosil dalam bauran energi global, perlambatan ekonomi besar seperti Tiongkok, serta kebutuhan memperkuat kredibilitas negara maju dalam mencapai target iklim jangka panjang.

Presiden Fossil Fuel Non-Proliferation Treaty, Kumi Naidoo, menegaskan bahwa krisis iklim bukan terjadi karena umat manusia tidak mampu memahami ancaman tersebut.

"Tetapi karena segilintir kelompok berkepentingan telah memperlakukan planet ini seperti kasino, sementara masyarakat menjadi korban," tegasnya, dalam acara diskusi Global Town Hall yang digelar oieh FPCI dan Global Citizen secara virtual pada Sabtu, 15 November 2025.

Ia menyoroti fakta bahwa meski energi terbarukan mencetak rekor positif, bahan bakar fosil masih menguasai 80 persen bauran energi dunia.

Kumi mengatakan 86 persen penyebab perubahan iklim berasal dari ketergantungan pada minyak, batu bara, dan gas. Menurutnya, bukan karena energi terbarukan tidak mampu memenuhi kebutuhan global, tetapi karena keberanian politik tertinggal jauh di belakang kemajuan teknologi. Ia menuduh industri bahan bakar fosil telah “menekan demokrasi selama puluhan tahun” dengan memengaruhi kebijakan melalui kekuatan finansial.

Selain itu, Kumi juga menyerukan penghentian perluasan proyek batu bara, minyak, dan gas, serta mendorong percepatan transisi yang adil, cepat, dan didukung pendanaan. Naidoo menilai perjanjian COP selama tiga dekade terakhir “tak memiliki kekuatan hukum,” sehingga dibutuhkan instrumen global yang bersifat mengikat untuk melengkapi Perjanjian Paris.

Ia menyambut baik rencana Kolombia menjadi tuan rumah konferensi diplomatik fase-out bahan bakar fosil pada April tahun depan serta pernyataan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva mengenai perlunya rencana penghentian bertahap bahan bakar fosil.

Sementara itu, Managing Director Agora Energy China, Kevin Jianjun Tu, menyampaikan pandangannya soal posisi Tiongkok dalam dinamika iklim global. Ia menyebut Tiongkok berada di persimpangan jalan setelah tiga “dividen pertumbuhan," yakni demografi, kepercayaan, dan globalisasi, mulai melemah. Menurut Kevin, perubahan geopolitik dan perlambatan ekonomi memaksa Tiongkok untuk menemukan mesin pertumbuhan baru yang lebih berkelanjutan.

Ia menekankan potensi besar inovasi, termasuk kecerdasan buatan (AI), digitalisasi, dan teknologi mendalam untuk mempercepat transisi energi. Kevin menyebut AI sudah mulai mengoptimalkan penggunaan energi di Tiongkok, meski dampak negatifnya masih menjadi pertanyaan terbuka. Ia menambahkan bahwa teknologi yang dikembangkan Tiongkok sebaiknya tetap dibagikan secara transparan untuk mendukung upaya global menghadapi perubahan iklim.

Ia menggambarkan Tiongkok sebagai “hybrid superpower” yang berpotensi menjembatani kesenjangan antara negara-negara Utara dan Selatan. "Kolaborasi lintas kawasan sangat penting karena masa depan iklim yang aman hanya bisa dicapai melalui tindakan kolektif," tutur Kevin.

Kebijakan Iklim yang Lebih Kuat

Dari perspektif Eropa, Direktur Diplomasi European Climate Foundation, Lola Vallejo, menegaskan perlunya konsistensi, kredibilitas, dan implementasi nyata dari negara-negara maju. Ia menyampaikan bahwa Eropa telah menurunkan emisi sekitar 37 persen sejak 1990 sambil meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 71 persen. Eropa juga telah mengadopsi target NDC baru, yakni pengurangan emisi 66–72 persen pada 2035, dengan visi jangka panjang menuju penurunan 90 persen pada 2040.

Lola menyebut bahwa kebijakan iklim di Eropa kini merupakan bagian dari proyek industri besar, terutama dalam menjaga daya saing menghadapi dominasi Tiongkok pada teknologi hijau. Ia juga menekankan peran skema perdagangan emisi (ETS) yang telah berjalan lebih dari 20 tahun sebagai salah satu bentuk “soft power” Eropa dalam memperluas kebijakan penetapan harga karbon.

"Dengan semakin beratnya dampak iklim di benua Eropa, kami berupaya menjaga komitmen dan memperluas kerja sama internasional, termasuk dengan Tiongkok dan Brasil, untuk membangun koalisi kebijakan iklim yang lebih kuat," ungkap Lola.

Baca juga:  Krisis Iklim Kian Nyata, Seruan Perkuat Kerja Sama Global Menguat

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Willy Haryono)