Ilustrasi Kompleks Parlemen Senayan. Medcom.id/Githa Farahdina
Siti Yona Hukmana • 18 May 2024 11:25
Jakarta: Revisi Undang-Undang Penyiaran yang salah satu poinnya melarang investigative reporting atau jurnalistik investigasi dinilai sebagai bentuk ketakutan anggota dewan. Pasalnya, laporan investigasi bisa membongkar sesuatu yang ditutupi oleh semua orang, termasuk legislator.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga mengatakan investigative reporting bisa menjadi ancaman bagi sebagian orang. Laporan investigasi bisa seperti pisau bermata dua. Bisa mengena ke orang lain, tapi juga bisa melukai diri sendiri.
"Hal itu bisa jadi menakutkan bagi sebagian anggota dewan. Mereka khawatir investigative reporting bisa menyasar mereka, termasuk kelompoknya," ujar Jamiluddin kepada Medcom.id, Sabtu, 18 Mei 2024.
Menurut dia, anggota dewan tidak perlu takut dengan adanya investigative reporting bila tidak ada yang ditutup-tutupi. Malah, kata dia, wakil rakyat akan merasa terbantu karena melalui investigative reporting dapat diperoleh data yang lebih akurat.
"Bagi wartawan dapat melakukan investigative reporting merupakan kebanggaan. Sebab, tidak semua wartawan mampu melakukannya," ucap dia.
Bahkan, hasil investigative reporting dapat menjadi bukti sejarah. Dia mencontohkan kasus korupsi Pertamina zaman Ibnu Soetowo yang diungkap oleh koran Indonesia Raya.
Dengan investigative reporting dapat mengungkap persoalan-persoalan besar yang ditutupi. Celakanya, kata Jamiluddin, yang kerap menutupi kasus justru orang yang punya kekuasaan.
"Mungkin itu sebabnya mereka risih dengan kemerdekaan pers, khususnya praktik investigative reporting. Bagi mereka kemerdekaan pers bisa mengancam dirinya atau kelompoknya," ujar dia.
Baca Juga:
Jurnalis Blitar Gelar Aksi Penolakan Revisi UU Penyiaran |