Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Dok/Medcom.id
Achmad Zulfikar Fazli • 2 January 2025 16:24
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold 20 persen. Dengan putusan ini, ambang batas pencalonan presiden menjadi 0.
Hal tersebut diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025). Perkara tersebut terregistrasi dalam perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo dilansir dari Website MK pada Kamis, 2 Januari 2025.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah menilai dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.
Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, akar rumput mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.
Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” sebut Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Jumlah Capres dan Cawapres
Mahkamah juga mempertimbangkan sekalipun norma ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, sebagai negara dengan sistem presidensial yang dalam praktik tumbuh dalam balutan model kepartaian majemuk (multi-party system), tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.
Meskipun dalam putusan ini, Mahkamah telah menegaskan dalam pertimbangan hukumnya pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional (constitutional right) semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon yang terlalu banyak melalui revisi UU. Sehingga, berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
Mahkamah juga mempertimbangkan sekalipun secara konstitusional terdapat ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua (second round), jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia.
Rekayasa Konstitusional
Dalam Putusan ini, Mahkamah memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
- Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
- Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik, sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
- Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
- Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dalam Putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).