Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro. Medcom.id/Siti Yona
Siti Yona Hukmana • 1 August 2023 23:21
Jakarta: Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri memastikan telah mengantongi alat bukti yang cukup untuk menetapkan Panji Gumilang tersangka penistaan agama. Setidaknya ada tiga alat bukti dan satu surat jadi bekal penetapan tersangka pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun itu.
"Penyidik sudah mendapatkan berbagai alat bukti yaitu baik alat bukti elektronik, keterangan maupun ahli," kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 1 Agustus 2023.
Ia mengatakan penyidik telah memeriksa total 57 saksi dalam kasus penistaan agama Panji Gumilang. Sebanyak 17 di antaranya merupakan saksi ahli.
"Perlu saya sampaikan kepada rekan-rekan bahwa proses penyidikan sampai dengan saat ini, penyidik telah memeriksa 40 orang saksi dan 17 ahli," ujar dia.
Djuhandhani tak membeberkan siapa saja saksi tersebut. Yang jelas, saksi ahli itu ada ahli pidana, ahli bahasa, ahli sosiologi, ahli agama termasuk ahli fiqih dan lainnya. Kemudian, termasuk mendengar keterangan Panji sebagai saksi terlapor.
Panji Gumilang dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait kasus penistaan agama. Panji menjalani pemeriksaan sebagai saksi dua kali. Pertama saat proses penyelidikan pada Senin, 3 Juli 2023 dan kedua saat proses penyidikan pada Selasa, 1 Agustus 2023.
Panji Gumilang tiba di Gedung Bareskrim Polri untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi tadi siang pukul 13.15 WIB. Kemudian, penyidik melakukan pengecekan kesehatan dan pemeriksaan dimulai pukul 15.00-19.30 WIB.
Usai pemeriksaan, penyidik melakukan gelar perkara dan memutuskan menetapkan Panji Gumilang tersangka penistaan agama.
Panji dijerat tiga Pasal. Pertama, Pasal 156 A KUHP tentang Penistaan Agama, dengan ancaman lima tahun penjara. Kedua, Pasal 45A ayat (2) Jo 28 ayat 2 Indang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Beleid itu berbunyi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Ketiga, Pasal 14 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur terkait berita bohong. Beleid itu menyebutkan barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.