Putri Purnama Sari • 3 November 2025 11:09
Jakarta: Imogiri, yang terletak di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bukan sekadar kawasan wisata sejarah. Di balik keheningannya, berdiri megah sebuah kompleks pemakaman kuno yang sarat makna sejarah dan spiritualitas.
Tempat ini bukan hanya menjadi situs sejarah peninggalan masa Mataram Islam, tetapi juga masih aktif digunakan hingga kini sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi raja-raja keturunan Mataram, termasuk Sri Susuhunan Paku Buwono XIII dari Keraton Surakarta Hadiningrat, yang wafat pada awal Minggu, 2 November 2025.
Tak hanya itu, tempat ini menjadi simbol kejayaan masa lalu sekaligus bukti kuatnya warisan budaya Jawa yang masih dijaga hingga kini.
Sejarah Singkat Makam Imogiri
Dilansir dari
budaya.jogjaprov.go.id, makam Imogiri dibangun pada abad ke-17 oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga Mataram Islam yang memerintah antara tahun 1613–1646 M.
Pembangunannya dimulai sekitar tahun 1632, dengan arsitektur yang memadukan unsur Hindu, Islam, dan budaya Jawa klasik. Konon, tanah yang digunakan untuk pembangunan makam ini dibawa langsung dari Mekah, sebagai simbol kesucian dan penghormatan.
Kompleks pemakaman ini dikenal dengan sebutan Pajimatan, yang berasal dari kata “jimat” atau pusaka. Dalam konteks ini, Sultan Agung yang wafat pada tahun 1645 menjadi yang pertama dimakamkan di Imogiri.
Sejak saat itu, kompleks ini menjadi makam resmi bagi raja-raja penerusnya dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, setelah kerajaan Mataram terpecah pada abad ke-18.
Arsitektur dan Tata Ruang yang Sarat Makna
Mengutip laman
kratonjogja.id, nama Imogiri berasal dari gabungan kata “hima” yang berarti kabut dan “giri” yang berarti gunung, sehingga dapat dimaknai sebagai “gunung yang diselimuti kabut.”
Penamaan ini sejalan dengan kondisi geografisnya yang memang berada di kawasan perbukitan selatan Yogyakarta, sekitar 16 kilometer dari Keraton Yogyakarta, tepatnya di Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.
Pemilihan lokasi di atas bukit bukan tanpa alasan. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa kuno sebelum masuknya ajaran Hindu, bukit diyakini sebagai tempat suci tempat bersemayamnya roh leluhur. Sedangkan dalam tradisi Hindu, semakin tinggi letak makam seseorang, maka semakin tinggi pula derajat kemuliaan dan kehormatannya.
Oleh karena itu, untuk mencapainya, pengunjung harus menaiki ratusan anak tangga batu yang curam, sebuah perjalanan simbolik menuju keheningan dan kemuliaan.
Dok: Instagram @christianhernawan
Tangga-tangga di kompleks Imogiri dibuat dengan anak tangga yang pendek, disesuaikan agar peziarah yang mengenakan busana adat Jawa dapat menaikinya dengan nyaman, sebuah ketentuan yang masih dipertahankan hingga saat ini di area tertentu makam.
Susunan tangga dan gapura di Makam Imogiri tersusun dalam garis vertikal lurus, mencerminkan falsafah spiritual masyarakat Jawa tentang perjalanan jiwa menuju alam keabadian. Setiap tingkat tangga memiliki gapura pembatas dengan maknanya masing-masing:
- Gapura Supit Urang menjadi gerbang utama yang mengarah ke area publik.
- Gapura Paduraksa menandai wilayah semi-sakral bernama Srimanganti, dilengkapi dengan daun pintu dan ornamen berbentuk sayap burung sebagai simbol jiwa yang telah lepas dari raga.
- Di bagian puncak tertinggi terdapat area Kedhaton, tempat dimakamkannya para raja dan anggota keluarga kerajaan.
Diketahui, Pengelolaan Makam Pajimatan Imogiri terbagi menjadi dua wilayah utama. Bagian barat diperuntukkan bagi pemakaman para raja Kasunanan Surakarta beserta keluarga dekat mereka, sementara bagian timur menjadi tempat peristirahatan bagi raja Kasultanan Yogyakarta dan para kerabatnya.
Dok: Instagram @brmprabu
Pada area yang menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta, terdapat tiga kedhaton atau kompleks pemakaman utama, yaitu:
- Kedhaton Bagusan (Kasuwargan), yang menjadi makam bagi Susuhunan Pakubuwono III, Pakubuwono IV, dan Pakubuwono V beserta keluarga mereka.
- Kedhaton Astana Luhur, tempat dimakamkannya Pakubuwono VI hingga Pakubuwono IX bersama keluarga terdekat.
- Kedhaton Girimulyo, yang digunakan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi Pakubuwono X dan Pakubuwono XI beserta keluarganya.
Bentuk gapura, ukiran kayu jati, serta tata letak bangunan menggambarkan filosofi kosmologi Jawa yang menempatkan manusia sebagai bagian dari harmoni alam dan Tuhan.