Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com
Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengeluarkan aturan baru untuk produk asuransi melalui Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026. Salah satu poin utama dalam aturan tersebut adalah penerapan skema co-payment, yaitu pembagian risiko pembiayaan layanan kesehatan antara perusahaan asuransi dan nasabah.
Melalui skema ini, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta diwajibkan menanggung sebagian biaya klaim rawat jalan maupun rawat inap. Co-payment yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim, dengan batas maksimum Rp300 ribu untuk klaim rawat jalan dan Rp3 juta untuk klaim rawat inap.
Obyek pengaturan dalam SEOJK 7/2025 tidak berlaku untuk skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan ditujukan hanya untuk produk asuransi kesehatan komersial.
Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, menilai bahwa penerapan co-payment tidak akan merugikan masyarakat karena ketentuan ini akan mengarah pada penurunan premi karena selama ini banyak klaim yang berlebihan atau “overutilitas”.
"Tidak merugikan sepanjang perusahaan asuransi menunjukkan komitmen pelayanan klaim yang lebih baik dan upaya penurunan premi sebagai kompensasi atas berlakunya tanggungan sendiri atau co-payment,” kata Irvan kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 11 Juni 2025.
(Ilustrasi. Foto: Freepik)
Minimalkan potensi fraud
Menurutnya, skema
co-payment ini bisa membantu meminimalisir potensi penyalahgunaan atau fraud saat pengajuan klaim. Ia bilang, potensi moral hazard dan fraud yang bisa berasal dari berbagai pihak, termasuk perusahaan asuransi, rumah sakit, dokter, hingga pasien saat ini sangatlah tinggi.
“Ini akan mengurangi over utilization yakni penggunaan diagnosis medis dan pengobatan yang berlebihan dengan dalih mumpung ada asuransi,” ungkap dia.
Selain itu, ia menilai mekanisme
co-payment ini juga tidak akan menurunkan minat masyarakat di tengah situasi biaya inflasi medis yang terjadi. “Karena kenaikan inflasi medis lebih tinggi dari tanggungan sendiri klaim dan BPJS bukan opsi untuk migrasi karena BPJS akan menerapkan Klas Rawat Inap Standard (KRIS),” imbuhnya.
Menurutnya,
co-payment juga berfungsi sebagai premi tambahan manakala terjadi klaim saja. Untuk itu, Ia menekankan pentingnya edukasi kepada nasabah agar mereka paham bahwa skema
co-payment merupakan bentuk pembagian risiko guna menjaga keberlanjutan layanan asuransi.
“Untuk menjaga sustainability asuransi dalam memberi pelayanan kepada nasabah. Karena premi bersifat biaya tetap (
fix cost) sedangkan
co-payment bersifat
variable cost hanya saat terjadi klaim saja,” jelas Irvan.
Bikin tarif premi lebih murah
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon mengatakan bahwa skema
co-payment untuk produk asuransi kesehatan akan membuat tarif premi lebih terjangkau bagi masyarakat.
Budi menilai skema
co-payment diperlukan untuk menahan laju kenaikan premi. Tanpa skema ini, lonjakan biaya kesehatan akan membuat premi terus naik dan menjadi beban tambahan yang tidak terjangkau oleh banyak pihak.
“Kalau kita percaya bahwa apa yang terjadi belakangan ini memberatkan masyarakat, klaim naik. Klaim naik itu pasti memberatkan kami. Tapi
at the end of the day, akan memberatkan masyarakat ketika harus membayar klaim ini,” tegas Budi.