Jakarta: Quick Response Code Indonesia Standard atau QRIS telah menjadi elemen krusial dalam ekosistem pembayaran digital di Indonesia. Kepraktisan, kecepatan, dan sifat inklusifnya membuat QRIS semakin diminati oleh masyarakat, mulai dari pelaku usaha kecil menengah hingga konsumen di area perkotaan.
QRIS sebagai metode pembayaran
Melansir laman DJP, QRIS pada dasarnya adalah alat untuk transaksi digital, serupa dengan uang tunai atau kartu debit. Sebagai metode pembayaran, QRIS tidak dikenakan pajak secara langsung. Ini berarti bahwa ketika pengguna memanfaatkan QRIS untuk berbelanja barang atau layanan, tidak ada pajak khusus yang ditambahkan pada penggunaan QRIS itu sendiri.
Meski demikian, ada aspek pajak yang berhubungan dengan transaksi QRIS, yang tergantung pada pihak-pihak yang terlibat. Berikut adalah penjelasannya:
1. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP)
Entitas seperti bank atau perusahaan fintech yang mendukung layanan QRIS mendapatkan penghasilan dari biaya layanan atau komisi. Pendapatan ini termasuk objek pajak, yaitu:
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas layanan sistem elektronik, jika penyedia telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
- Pajak Penghasilan (PPh) atas komisi atau biaya yang diterima.
(Ilustrasi. Foto: Dok istimewa)
2. Merchant (pedagang atau penyedia layanan)
Merchant yang menerima pembayaran melalui QRIS tetap memiliki kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan yang ada, terlepas dari metode pembayarannya. Misalnya:
- PPN harus dipungut dan disetor jika merchant berstatus sebagai PKP.
- PPh Final UMKM berlaku bagi pelaku bisnis dengan pendapatan di bawah Rp500 juta per tahun, sesuai PP Nomor 55 Tahun 2022.
3. Konsumen
Untuk konsumen, tidak ada kewajiban pajak baru saat menggunakan QRIS. Jika barang atau layanan yang dibeli termasuk dalam PPN, maka pajak tersebut sudah dihitung dalam harga yang dibayarkan.
Merchant Discount Rate (MDR) dan implikasi pajaknya
Setiap transaksi menggunakan QRIS umumnya dikenakan biaya MDR (sekitar 0,7 persen dari jumlah transaksi). Bagi merchant, MDR menjadi biaya yang bisa mengurangi penghasilan bruto dalam perhitungan PPh. Sementara untuk penyedia QRIS, MDR dianggap sebagai pendapatan yang dikenakan PPh dan mungkin juga PPN.
QRIS tidak dikenakan pajak secara langsung, tetapi transaksi yang melibatkan QRIS tetap harus mematuhi ketentuan perpajakan yang ada. Dengan menggunakan QRIS, transaksi menjadi lebih tercatat dengan baik, sehingga membantu pemerintah dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel.
Dengan begitu, masyarakat tidak perlu cemas tentang pajak tambahan saat menggunakan QRIS. Yang terpenting, baik merchant maupun penyedia layanan harus memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku. (
Avifa Aulya Utami Dinata)