Alasan Orang Ngutang di Pinjol: Buat Usaha, Tapi Denda Mencekik!

Ilustrasi. Foto: fahum.umsu.ac.id

Alasan Orang Ngutang di Pinjol: Buat Usaha, Tapi Denda Mencekik!

Insi Nantika Jelita • 14 June 2025 12:05

Jakarta: Mayoritas responden dalam kajian yang dilakukan Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menunjukkan, pemanfaatan fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) didominasi untuk keperluan usaha. Namun demikian, responden merasa terbebani dengan denda pinjaman.

Direktur Riset Bidang Jasa Keuangan, Ekonomi Digital, dan Syariah Core Indonesia Etika Karyani menjelaskan, sebanyak 67 persen responden yang merupakan peminjam (borrower) menyatakan menggunakan pinjaman P2P untuk usaha, sementara 33 persen lainnya tidak. Survei ini merupakan bagian dari kajian CORE Indonesia bertajuk Dampak Sosial-Ekonomi dan Keberlanjutan Industri Fintech P2P Lending di Indonesia 

"Kita tanyakan kepada para responden apakah mereka menggunakan pinjaman dari untuk usaha? Mayoritas 67 persen mengatakan iya," ujarnya dalam seminar diseminasi kajian Dampak Sosial-Ekonomi dan Keberlanjutan Industri Fintech P2P Lending di Indonesia secara daring, dikutip Sabtu, 14 Juni 2025.

Jika dirinci berdasarkan tujuan utama penggunaan pinjaman, sebesar 55 persen responden menyebut untuk kegiatan usaha, 32 persen untuk kebutuhan primer, tujuh persen untuk pendidikan, dan masing-masing dua persen untuk kebutuhan kesehatan serta keperluan darurat.

Lebih lanjut, Etika menyampaikan dari hasil survei tersebut, lebih dari 51 persen responden mengalami peningkatan pendapatan setelah menggunakan layanan P2P lending, terutama mereka yang memanfaatkan dana pinjaman untuk kegiatan usaha produktif dan diversifikasi produk.

Terkait persepsi terhadap suku bunga, sebanyak 59 responden menyatakan tingkat bunga masih terjangkau, khususnya bagi mereka yang menggunakan pinjaman untuk keperluan usaha. Hal ini diduga karena pelaku usaha lebih memahami skema kredit yang ditawarkan oleh platform P2P.

"Sehingga, beban bunga dirasakan lebih wajar dibandingkan mereka yang menggunakan dana untuk konsumsi atau kebutuhan non-produktif," jelas Etika.
 

Baca juga: Orang Indonesia Makin Gemar Ngutang di Pinjol dan Paylater, Totalnya Lebih dari Rp80 Triliun


(Ilustrasi pinjaman online/paylater. Foto: mui.or.id)
 

Denda keterlambatan 'gak ngotak'


Namun demikian, ada tantangan lain yang dirasakan peminjam, terutama soal denda keterlambatan. Sebanyak 45 persen responden menyatakan denda yang dikenakan mahal, hingga sangat berat jika mereka terlambat membayar cicilan. 

"Semakin seseorang telambat membayar cicilan, maka semakin besar mereka merasa denda ketelambatan, sehingga beban semakin berat," papar Etika. 

Menariknya, sebagian besar responden atau 59 persen ternyata masih memilih pinjaman informal sebagai sumber pembiayaan utama, dibandingkan lembaga keuangan formal seperti bank yang hanya dipilih oleh 29,6 persen responden. Ini menunjukkan akses ke lembaga keuangan formal masih rendah di kalangan masyarakat.

Sementara itu, bagi masyarakat yang belum pernah menggunakan layanan P2P lending, mereka tetap melihat keunggulan platform ini dari sisi kecepatan proses (45,3 persen) dan tidak adanya persyaratan jaminan (17,5 persen). Namun, ada pula kekhawatiran yang cukup tinggi, terutama soal keamanan data pribadi (45,3 persen), suku bunga yang dianggap tinggi (31 persen), dan risiko penipuan (15 persen).

Survei ini melibatkan 2.104 responden, terdiri dari 1.429 peminjam dan 675 non-peminjam. Seluruh responden berada dalam rentang usia produktif 18-65 tahun, tersebar di 34 provinsi, serta memiliki akses terhadap internet dan smartphone. Mayoritas non-peminjam merupakan lulusan minimal SMA dan sudah bekerja, sedangkan peminjam umumnya berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)