Presiden kedua RI Soeharto. Foto: MI/Susanto.
Anggi Tondi Martaon • 5 November 2025 17:39
Jakarta: Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ansory Siregar meminta semua pihak untuk bersikap objektif dalam menyikapi usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional. Hal itu disampaikan Ansory merespons wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto.
Menurut Ansory, setiap tokoh yang dinominasikan untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tentu memiliki rekam jejak perjuangan. Mereka dinilai memiliki kontribusi nyata bagi bangsa dan negara.
"Pemberian gelar pahlawan adalah bentuk penghormatan negara kepada individu yang telah memberikan jasa besar. Karena itu, prosesnya harus dilakukan secara objektif, berimbang, dan berdasarkan penilaian yang komprehensif, bukan sekadar melihat satu sisi dari perjalanan sejarah," kata Ansory dikutip dari Antara, Rabu, 5 November 2025.
Ansory menegaskan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Setiap tokoh bangsa memiliki kelebihan dan kekurangan dalam kiprah pengabdiannya.
"Kita harus menilai secara proporsional. Tidak menutup mata terhadap kekurangan, tetapi juga tidak menafikan jasa dan kontribusinya bagi bangsa," tambah Ansory.
Dalam konteks Soeharto, Ansory menilai terdapat sejumlah aspek yang patut dicermati secara objektif. Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan yang berhasil meletakkan dasar pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan stabilitas politik di masa-masa awal pembangunan.
"Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami kemajuan signifikan dalam bidang infrastruktur, pertanian, dan pendidikan," ungkap Ansory.

Selain itu, Soeharto memiliki peran strategis dalam menjaga keamanan negara. Terutama saat Indonesia menghadapi ancaman ideologi komunis.
"Langkah-langkah yang diambil pada masa itu berperan penting dalam memastikan arah bangsa tetap pada jalur Pancasila dan menjaga keutuhan NKRI," sebut Ansory.
Ansory menyinggung kiprah internasional Soeharto yang mencerminkan kepedulian terhadap isu kemanusiaan dan dunia Islam. Pada tahun 1995, Soeharto melakukan kunjungan langsung ke Bosnia-Herzegovina di tengah perang yang masih berkecamuk.
Kunjungan berisiko tinggi itu menjadi simbol empati dan solidaritas Indonesia kepada rakyat Bosnia, khususnya umat Islam yang menjadi korban konflik. Dari momentum itu pula lahir inisiatif pembangunan Masjid Istiqal di Sarajevo, sebagai tanda persahabatan dan dukungan Indonesia terhadap perdamaian.
"Langkah tersebut menunjukkan sisi kemanusiaan dan keberanian yang patut diapresiasi. Ia membawa nama Indonesia sebagai bangsa yang peduli pada perdamaian dan solidaritas antarumat,” ujar Ansory.
Ansory berharap agar proses penetapan gelar Pahlawan Nasional dilakukan dengan kejujuran sejarah, kebijaksanaan moral, dan semangat rekonsiliasi kebangsaan.
"Kita perlu belajar menghargai jasa tanpa menutup mata terhadap catatan sejarah. Pahlawan adalah manusia dan manusia punya perjalanan yang kompleks. Semoga keputusan yang diambil nanti mampu memperkuat semangat kebangsaan, mempererat persatuan, dan menjadi teladan bagi generasi penerus," kata Ansory.