Al-Musaharti pada zaman dahulu. (via Frejna)
Riza Aslam Khaeron • 5 March 2025 20:05
Jakarta: Ramadan 2025 telah tiba, bulan penuh keberkahan yang dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia dengan ibadah, puasa, dan tradisi khas yang telah diwariskan turun-temurun. Salah satu tradisi yang masih lestari di beberapa negara Arab adalah Al-Musaharati, yakni seseorang yang berkeliling pada malam hari untuk membangunkan orang-orang agar bersantap sahur.
Profesi ini memiliki sejarah panjang yang bermula sejak masa awal Islam dan berkembang pesat dalam berbagai era Islam.
Awal Mula Al-Musaharati
Gambar: Lukisan Bilai. (Wikimedia Commons)
Mengutip Frejna pada 5 Maret 2025, praktik membangunkan orang untuk sahur pertama kali dilakukan oleh Bilal bin Rabah, muazin Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW menginstruksikan Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan azan Maghrib sebagai tanda waktu berbuka puasa, sementara Abdullah bin Maktoum bertugas mengumandangkan azan Subuh sebagai tanda waktu berpuasa dimulai.
Seiring berjalannya waktu, tradisi membangunkan sahur berkembang menjadi sebuah profesi, di mana seseorang berkeliling kota dan menyanyikan syair Islami sambil memukul alat musik perkusi untuk membangunkan warga.
Perkembangan pada Masa Dinasti Fatimiyah
Tradisi Al-Musaharati mulai menjadi profesi formal pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir. Khalifah Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan rakyatnya untuk tidur lebih awal setelah shalat Tarawih dan memerintahkan tentaranya untuk membangunkan orang-orang saat waktu sahur dengan mengetuk pintu rumah mereka.
Dalam catatan sejarah, Otbah bin Ishaq disebut sebagai Musaharati pertama di Mesir yang berkeliling di kawasan Al-Fustat, membangunkan penduduk dengan mengulang-ulang sabda Nabi Muhammad SAW: "
Makanlah sahur, karena dalam sahur terdapat keberkahan."
Masa Dinasti Abbasiyah: Perkembangan Seni Musaharati
Pada era Dinasti Abbasiyah, profesi Al-Musaharati berkembang lebih jauh di kota Baghdad. Masyarakat mulai menambahkan unsur seni dalam tugas membangunkan sahur, seperti seni Al-Hijazi dan Al-Qouma.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perluasan kota, alat musik mulai digunakan untuk menjangkau lebih banyak orang. Di Mesir, seorang Musaharati terkenal bernama Ibn Noqthah mendapat tugas khusus untuk membangunkan Sultan Al-Nasir Muhammad.
Tradisi ini pun diwariskan kepada anaknya, sehingga menjadi pekerjaan turun-temurun. Pada masa ini, penggunaan gendang dan alat musik lainnya mulai umum dipakai untuk membantu Musaharati dalam membangunkan warga.
Tradisi Al-Musaharati di Era Modern
Foto: Sayyed Mikkawi. (Youtube/The Pharaoh)
Tradisi ini terus bertahan dalam berbagai periode sejarah Islam dan menyebar ke berbagai negara Arab dengan variasi khas masing-masing. Mesir dan Uni Emirat Arab, misalnya, memiliki sebutan unik bagi Al-Musaharati, yakni Abu Tbila’ah, merujuk pada drum kecil yang digunakan, juga dikenal sebagai Al Baz’ah. Perbedaan juga terlihat pada pakaian tradisional yang dikenakan para Musaharati, yang biasanya disesuaikan dengan budaya setempat.
Pada era modern, beberapa penyair dan sastrawan turut memberi warna pada tradisi ini. Fouad Haddad, seorang penyair Mesir, bahkan menciptakan syair khusus untuk para Musaharati, yang kemudian diaransemen oleh Sayyed Mikkawi pada tahun 1964. Liriknya berbunyi: "
Setiap bagian dari negaraku adalah bagian dari hatiku… Aku adalah Musaharati, dan aku berkeliling negeri ini."
Panggilan sahur yang digunakan para Musaharati berbeda-beda di setiap wilayah. Melansir Frejna, Sayyed Mikkawi mengungkapkan bahwa ia dan ayahnya memiliki empat putaran dalam membangunkan warga setiap malam Ramadan:
1. Putaran pertama: "
Wahai para tidur, ingatlah Allah yang menciptakan angin, malam telah usai, dan pagi segera tiba. Minumlah cepat, fajar telah datang."
2. Putaran kedua: "
Makan sahur, semoga Allah memberkati dan mengampuni kalian. Nikmatilah rezeki-Nya dan berbuat baiklah."
3. Putaran ketiga: "
Ya Allah, penguasa malam dan siang, pencipta cahaya dan kegelapan, penolong para hamba yang membutuhkan."
4. Putaran keempat: "
Makan dan minumlah dengan segera, pagi sudah dekat. Ingatlah Allah, bersyukurlah, dan berdoalah kepada-Nya."
Namun, dengan perkembangan zaman, panggilan sahur kini lebih singkat. Mikkawi kemudiang mempersingkat lantunan ini dengan cukup mengucapkan: "
Wahai hamba Allah, Allah itu satu." atau "Makan sahur, semoga Rasulullah SAW mengunjungi kalian."
Al-Musaharati di Era Kontemporer dan Keunikan Masing-Masing Negara
Foto: Al-Musaharati di Timur Tengah. (via Frejna)
Meskipun profesi ini semakin jarang ditemui di kota-kota besar akibat perkembangan teknologi, di beberapa daerah tradisional, peran Musaharati tetap dihargai. Banyak komunitas menolak menggantikan tradisi ini dengan alarm atau teknologi modern, dan tetap menjaga keberadaannya di lorong-lorong kota tua.
Di Lebanon, muncul fenomena unik di mana seorang Musaharati beragama Kristen bernama Michael Ayoub menjalankan tugas ini selama sembilan tahun tanpa bayaran, semata-mata karena ingin berbagi kegembiraan Ramadan dengan saudara-saudaranya yang Muslim. Tindakannya mendapat apresiasi luas dari masyarakat setempat sebagai simbol toleransi dan persaudaraan lintas agama.
Kemudian di Sudan, Al-Musaharati masih bertahan sebagai tradisi Ramadan yang sangat dihormati. Mereka dikenal dengan panggilan sahur yang khas seperti "
Ya naayem wahid Allah!" yang berarti "
Wahai yang tidur, ingatlah Allah yang satu!". Selain itu, di beberapa desa, para Musaharati sering menambahkan nyanyian lokal yang berisi doa-doa dan harapan untuk bulan yang penuh berkah ini.
Sementara itu di Yaman, para Musaharati dikenal dengan cara mereka yang lebih teatrikal dalam membangunkan orang untuk sahur. Mereka tidak hanya menggunakan drum, tetapi juga mengenakan pakaian tradisional khas yang mencerminkan budaya lokal. Di beberapa daerah, mereka menggunakan kata-kata seperti "
Qumu ya asdiqai!" yang berarti "
Bangunlah, wahai teman-temanku!" untuk membangunkan penduduk.
Foto: Al-Musaharati di Indonesia. (Laman Portal Kabupaten Blora)
Lalu di Somalia, kita bisa melihat kesamaan tradisi seperti di Indonesia, dimana anak-anak muda turun ke jalan dan menggemakan "
Sahur... Sahur... Sahur..." Sedangkan di Uni Emirat Arab (UEA) mereka menambah cita rasa panggilan sahur seperti halnya bacaan tambahan dalam adzan subuh: "
wahai yang tertidur, sahurlah, itu lebih baik daripada tidur".
Untuk ibu pertiwi, melansir NU Jatim Online tradisi membangunkan sahur tetap bertahan dalam berbagai bentuk di banyak daerah. Seperti di Jawa Timur, terdapat tradisi Patrol, yaitu sekelompok pemuda berkeliling desa sambil menabuh alat musik tradisional seperti kendang, rebana, dan beduk.
Selain itu, di era modern ini, beberapa daerah menggunakan pengeras suara dari masjid dan mushala untuk mengumandangkan seruan sahur. Bahkan, ada juga yang menggunakan truk dengan pengeras suara besar untuk menyetel lagu-lagu religi agar warga terbangun.
Bahkan di beberapa wilayah di Indonesia masih mempertahankan tradisi membangunkan sahur dengan memukul kentongan atau alat musik lokal lainnya, yang menjadi ciri khas budaya daerah masing-masing.
Untuk Palestina yang terlanda konflik, para Musaharati menggunakan suara peluit dan memanggil nama-nama warga yang telah mereka catat sebelumnya untuk membangunkan mereka, seperti : "
Wahai yang tertidur, bangunlah dan sembah Allah! Bangun Abu Ahmed! Bangun Abu Siyah!".
Tradisi Al-Musaharati yang Semakin Ditinggalkan
Sayangnya, melansir Arab News pada 7 April 2022, seiring perkembangan zaman, tradisi Al-Musaharati mulai ditinggalkan di banyak negara di Timur Tengah. Faktor utama yang menyebabkan penurunan tradisi ini adalah kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat modern.
Di kota-kota besar, masyarakat kini lebih mengandalkan alarm ponsel, jam weker, dan pengingat digital untuk bangun sahur.
Di Jeddah, Arab Saudi, tradisi ini telah menjadi kenangan bagi generasi tua. Seorang warga bernama Ahmed Abdo, yang telah tinggal di distrik tua Jeddah selama lebih dari lima dekade, mengatakan bahwa "dulu setiap distrik memiliki Musaharati, tetapi kini hampir semuanya menghilang karena generasi muda beralih ke profesi lain". Sebagian besar masyarakat tidak lagi tidur lebih awal, sehingga peran Al-Musaharati semakin berkurang.
Menurut Abdulrahman Al-Awfi, seorang warga Jeddah berusia 59 tahun, tradisi ini mulai punah sejak teknologi masuk ke dalam rumah-rumah masyarakat. Ia menyatakan bahwa "dulu, kita bergantung pada Al-Musaharati, tetapi sekarang kita hanya mengandalkan televisi dan alarm ponsel untuk mengetahui waktu sahur".
Di beberapa negara, seperti Mesir dan Suriah, meskipun masih ada beberapa Al-Musaharati yang bertugas, jumlah mereka semakin sedikit dan tidak lagi menjadi bagian utama dari tradisi Ramadan. Bahkan, di beberapa tempat, Al-Musaharati hanya dianggap sebagai atraksi wisata atau sekadar hiburan nostalgia bagi masyarakat.
“Seiring berjalannya waktu, tradisi secara alami berkembang dan berubah, tetapi penting untuk meneruskan makna dari hari-hari ini kepada generasi muda,” kata seorang penduduk distrik tua Jeddah.