Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. (MI/Ebet)
Abdul Kohar • 20 August 2025 07:03
UTANG sepertinya masih akan menjadi salah satu tulang punggung anggaran negara tahun depan. Bahkan, pemerintah berencana menarik utang baru yang relatif jumbo, yakni Rp781,9 triliun. Jumlah itu merupakan yang terbesar dalam kurun empat tahun terakhir.
Dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 disebutkan, utang akan ditarik melalui dua cara, yaitu penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman. Penerbitan SBN akan terbagi dua, yaitu penerbitan surat utang negara (SUN) dan surat berharga syariah negara (SBSN)/ sukuk negara.
Sementara itu, pinjaman akan dilakukan melalui dua cara juga, yakni pinjaman luar negeri dan dalam negeri. Utang yang direncanakan ditarik untuk menutup defisit anggaran 2026 itu bakal menjadi yang terbesar sejak pandemi covid-19. Pada saat pandemi 2021, pemerintah menarik utang Rp870,5 triliun.
Kemudian, utang 2022 yang ditarik Rp696 triliun, pada 2023 sebesar Rp404 triliun, dan pada 2024 Rp558,1 triliun. Pada outlook 2025, pemerintah menarik utang Rp715,5 triliun. Lalu, menurut rencana, tahun depan, pemerintah bakal menarik utang lebih jumbo, yakni Rp781,86 triliun (dibulatkan menjadi Rp781,9 triliun).
Berbagai kalangan sudah mengingatkan kian menumpuknya utang negara dalam satu dasawarsa terakhir. Bila terus ditumpuk, jelas bakal membuat anggaran negara sesak napas karena mesti membayar utang jatuh tempo dan bunga utang di kemudian hari. Tahun ini, APBN sudah mesti merogoh dana lebih dari Rp1.200 triliun untuk membayar utang yang jatuh tempo ditambah bunga. Tahun depan, bahkan mesti membayar lebih dari Rp1.300 triliun untuk pokok utang jatuh tempo plus bunga.
Karena itu, kita mesti melihat bagaimana tren penumpukan utang terjadi. Pada akhir 2014, pada akhir pemerintahannya SBY 'mewariskan' utang negara sekitar Rp2.600 triliun, atau sekitar 20% dari produk domestik bruto (PDB), alias seperlima dari total PDB waktu itu. Sepuluh tahun kemudian, pada akhir pemerintahannya, Jokowi 'mewariskan' utang lebih dari Rp8.600 triliun, alias hampir 40% dari PDB, atau 10% menuju separuh total PDB kita.
Benar belaka bahwa jangan hanya melihat utang negara dari nilainya, tapi lihat juga rasionya terhadap PDB. Undang-undang kita memang memberikan kelonggaran bagi pemerintah untuk 'menimbun' utang negara hingga 60% dari PDB. Namun, hampir semua rezim di negeri ini tak mau menarik utang hingga 60%. Para ahli memberi batas 'garis kuning' bila rasio utang terhadap PDB kita sudah 40%.
Baca Juga:
Pemerintah Tarik Utang Rp781,87 Triliun di 2026, Mayoritas dari SBN |
Kini, rasio utang negara sudah mendekati garis kuning itu, alias di angka sekitar 38%. Meski sejumlah negara yang skala ekonominya mirip-mirip Indonesia memiliki rasio utang lebih besar daripada negeri kita, kelangsungan fiskal sejumlah negara itu relatif lebih bisa diandalkan ketimbang kita.
Thailand, misalnya. Negeri itu memiliki rasio utang sekitar 60% dari PDB. Namun, rasio perpajakan (tax ratio) Thailand yang sekitar 16% lebih bisa diandalkan untuk menopang fiskal Indonesia yang rasio perpajakannya masih di sekitar 10,7% hingga 11,4%. Amerika Serikat juga memiliki rasio utang lebih dari 120% PDB mereka. Namun, 'Negeri Paman Sam' itu memiliki rasio perpajakan 16,6%, atau 5,5% lebih tinggi ketimbang Indonesia.
Selain itu, tingkat bunga utang negara kita yang tinggi berisiko menekan keuangan negara. Rasio bunga utang negeri ini terhadap pendapatan di Indonesia sekitar 20%. Angka itu dua kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata negara berpenghasilan menengah ke atas yang hanya sekitar 8,5%.
Jadi, meskipun guncangan ekonomi global akibat tekanan yang membuat negara-negara menumpuk utang sudah mereda, bagi Indonesia tekanan terhadap bunga utang masih serupa badai. Risiko kenaikan suku bunga global masih terbuka lebar. Jika itu terjadi, biaya utang pemerintah bisa meningkat akibat naiknya yield surat berharga negara (SBN).
Baca Juga:
Utang Luar Negeri Indonesia Capai USD433,3 Miliar di Triwulan II-2025 |
Selain itu, kondisi nilai tukar rupiah bisa memengaruhi tekanan terhadap fiskal. Dengan tekanan dari potensi capital outflow, rupiah menjadi rentan melemah terhadap fluktuasi global. Itu bisa berdampak langsung terhadap besarnya kewajiban pembayaran utang.
Belum lagi beragam program populis lainnya yang umumnya at all cost tak boleh diganggu dengan alasan biaya. Karena itu, berapa pun biayanya akan dibayar. Jika anggaran seret, sangat mungkin pemerintah menarik utang lebih besar lagi. Itu berisiko menimbulkan tekanan refinancing, yakni utang jatuh tempo yang harus dibayar atau diterbitkan ulang, biasanya dengan bunga yang lebih tinggi. Akan ada utang di atas utang, bunga di atas bunga.
Saya ingin mengunci tulisan ini dengan janji Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bu Sri menggaransi penarikan utang akan dilakukan dengan kehati-hatian. Pemerintah juga lebih memprioritaskan penarikan utang dari dalam negeri. Menkeu menjamin bahwa pemerintah akan tetap 'tahu batas' dengan menjaga rasio utang terhadap PDB tidak menabrak 'zona waspada'. Rasio utang Indonesia, kata dia, tak pernah berubah dalam tiga tahun terakhir. Jumlahnya 39,96% terhadap PDB Indonesia.
Saya sabar menanti janji hati-hati mengelola utang itu konsisten ditepati. Apakah Anda punya kesabaran serupa?