Presiden Jokowi (kiri). Foto: MI/Ramdani
Jakarta: Cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mengingatkan pada Soeharto saat masih memimpin bangsa ini selama 32 tahun. Soeharto berlaku layaknya diktator yang sekuat tenaga mempertahankan agar Orde Baru tetap berkuasa.
"Pak Harto (Soeharto) selalu mengatakan bahwa demi keberlangsungan pembangunan, demi suksesnya Repelita, demi stabilitas politik yang terjaga, Orde Baru harus selalu tegak. Demi klaim itu semua, Pak Harto pun rela ikut cawe-cawe memenangkan Golkar dengan persentase kemenangan yang sudah ditentukan (biasanya menang 70%)," kata Anggota Dewan Redaksi Media Group, Abdul Kohar, dalam tulisan bertajuk Jokowi Versus Jokowi, Rabu, 31 Mei 2023.
Kohar menyatakan Soeharto kerap cawe-cawe dengan dalih agar pembangunan bisa berkelanjutan. Tidak pegat di tengah jalan.
"Apakah klaim demi meneruskan pembangunan era Orde Baru itu telah sejalan dengan amanat hati nurani rakyat, bukan hal utama. Yang penting kekuasaan harus tetap digenggam. Yang pasti, semua kroni harus tetap mendapat asupan gizi. Itulah yang akhirnya dikoreksi oleh gerakan reformasi," kata Kohar.
Jokowi secara terang-benderang menyatakan layak untuk cawe-cawe dalam politik demi kepentingan bangsa dan negara. Agar pembangunan tetap berlanjut meskipun terjadi transisi kepemimpinan.
"Cawe-cawe untuk negara, untuk kepentingan nasional. Saya memilih cawe-cawe dalam arti yang positif, masa tidak boleh? Masa tidak boleh berpolitik? Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Untuk negara ini, saya bisa cawe-cawe," kata Jokowi saat menerima sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Negara, Senin, 29 Mei 2023 petang.
Jokowi mengatakan Indonesia butuh keberlanjutan pembangunan untuk menjadi negara maju. Oleh karena itu, kata dia, diperlukan sosok pemimpin yang melanjutkan berbagai pembangunan saat ini.
Kohar mengkritik laku Jokowi ini. Menurutnya, kedaulatan dilaksanakan berdasarkan undang-undang, termasuk ketika memilih presiden dan wakil presiden yang merupakan orang-orang yang dicalonkan parpol atau gabungan parpol.
"Jadi, bukan calon yang disarankan, direkomendasikan, dibisikkan, apalagi distigma sebagai anjuran," kata Kohar.