Dompet Dhuafa gelar Sarasehan tokoh bangsa bertajuk Merajut Kebersamaan, Mewujudkan Merdeka dari Kemiskinan.
Jakarta: Dompet Dhuafa menggelar Sarasehan tokoh bangsa bertajuk Merajut Kebersamaan, Mewujudkan Merdeka dari Kemiskinan, di Sasana Budaya Rumah Kita Dompet Dhuafa, Jakarta Selatan, Rabu, 13 Agustus 2025. Kegiatan ini menghadirkan tokoh nasional lintas bidang.
Ketua Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa Republika (YDDR) Ahmad Juwaini menyampaikan data angka kemiskinan sampai hari ini masih terus menjadi kontroversi.
"Belum lagi jika menggunakan standar kemiskinan versi Bank Dunia, bertambah lagi kerunyaman persentase dan jumlah penduduk miskin di Indonesia," kata Juwaini melalui keterangan tertulis, Kamis, 14 Agustus 2025.
Kemudian, Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa, Parni Hadi, mengingatkan pesan sang Proklamator, Soekarno, yang menyebut perjuangan ke depan akan semakin sulit karena melawan bangsa sendiri. Pesan tersebut menyiratkan tantangan yang dihadapi setelah era kemerdekaan tidak mudah.
Begitu pula yang dihadapi Dompet Dhuafa. Ia mengaku bersyukur kondisi Dompet Dhuafa saat ini bisa dikatakan bertumbuh dalam segala aspek. Baik itu program, kepercayaan publik, penghimpunan, hingga potensi insan.
"Namun, tumbuh juga tantangannya. Maka salah satu solusinya adalah hindari zona nyaman karena membuat orang lengah. Kita harus merdeka dari belenggu kemiskinan. Miskin hati, miskin disiplin, juga miskin value," ucap Parni Hadi.
Selanjutnya, Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia Rahmat Hidayat menjelaskan usia 80 tahun
kemerdekaan Republik Indonesia harus menjadi bekal introspeksi. Masyarakat terus diajak untuk berkontribusi bagi bangsa, misalnya dengan memakmurkan masjid.
"Beri kontribusi mulai dari kita. Masjid yang makmur pun sangat potensial menjadi pusat ekonomi umat jika mampu menghadirkan gerakan-gerakan yang melibatkan masyarakat seperti UMKM atau kewirausahaan yang mampu mencegah pengangguran," ujar Rahmat.
Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Zaitun Rasmi menyampaikan Indonesia merupakan negara muslim terbesar dan masih banyak kemiskinan. Masalah ini harus dicari jalan keluar secara integral komprehensif.
"Seperti yang dikatakan Pak Parni, miskin hati, miskin mental, atau bahkan dimiskinkan? Saya kira ini soal penerapan amanat distribusi konsep, ada Pancasila dan UUD," ujar Zaitun.
Aktivis sekaligus cendekiawan Yudi Latif sedikit mengupas soal makna kata Merdeka. Ia menjelaskan istilah Merdeka yang berasal dari Bahasa Sansekerta: Maharddhika, yang bermakna mulia, kaya/makmur, terdidik, tercerahkan, juga berkuasa.
"Maharddhika tidak sekadar bebas dari secara politik, tapi merdeka dalam pikiran dan perasaan. Pendidikan dianggap sarana untuk merdeka dari ketergantungan serta kemiskinan," ujar Yudi.
Aktivis lainnya, Bambang Widjojanto, menekankan pentingnya akurasi pendataan penduduk Indonesia. Baik dari sisi jumlah, hingga tingkat kemiskinan.
Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu juga menyoroti praktik bantuan sosial (Bansos) yang dinilai jadi sumber kerusakan dan korupsi. Ia menilai menganggap Bansos sama saja memperpanjang perbudakan. Angkanya juga tidak jelas dan jadi sumber korupsi.
"Dompet Dhuafa tanpa harus berkhidmat pada Pancasila, tapi sedang melaksanakan Pancasila. Mengerjakan tugas-tugas negara dengan mendirikan sekolah-sekolah dan menghadirkan rumah sehat," tutur Bambang.