Ilustrasi. Foto: Medcom
Jakarta: Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Badan Harian Centra Initiative, Al Araf, menyoroti revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Sebab, dinilai memuat sejumlah materi yang bermasalah dan akan memundurkan konteks penegakan hukum di dalam masyarakat.
Al Araf menilai pasal terbaru dalam revisi UU Polri yang memperbolehkan intelijen kepolisian melakukan penyadapan tanpa melalui izin pengadilan, dapat mengancam keseimbangan demokrasi, negara hukum, dan HAM. Menurut dia, penyadapan tetap harus melalui mekanisme kontrol dengan mendapatkan izin dari pengadilan.
“Ini melanggar putusan MK (Mahkamah Konstitusi), penyadapan harus melalui izin ketua pengadilan karena penyadapan harusnya ada mekanisme kontrol,” ujar Al Araf saat dikutip dari Media Indonesia, Minggu, 2 Maret 2025.
Al Araf mengatakan pelaksanaan operasi penyadapan tanpa melalui izin pengadilan juga akan berdampak negatif terhadap sejumlah aspek. Salah satunya, merusak prinsip check and balances pada sistem demokrasi Indonesia.
“Di dalam undang-undang negara, mekanisme penyadapan BIN saja harus melalui mekanisme pengadilan, penyadapan terorisme oleh Densus juga harus melalui izin ketua pengadilan. Hal itu untuk memastikan ada check and balance,” ungkap dia.
Al Araf menekankan bahwa pada dasarnya, operasi penyadapan oleh lembaga penegak hukum adalah suatu tindakan yang ilegal dan secara pasti akan melanggar hak-hak warga. Namun, hal tersebut menjadi absah apabila telah melalui persetujuan persidangan.
“Tetapi penyadapan ini diperbolehkan untuk kepentingan penegakan hukum dengan syarat tertentu. Oleh karena itu, harus dikontrol dengan cara harus izin dari ketua pengadilan negeri,” sebut dia.
Selain itu, Al Araf menyoroti adanya penambahan wewenang kepolisian dalam revisi UU Polri. Amunisi baru itu berpotensi akan mengubah peran Polri yang seharusnya bertugas melindungi keamanan masyarakat, justru menjadi institusi yang akan berperan dalam keamanan negara.
“Polri memiliki fungsi untuk penegakan hukum, perlindungan pengayoman dan pelayanan masyarakat jadi lebih menekankan pada aspek keamanan individu yang harus dijaga. Tetapi faktanya, catatan terhadap RUU Polri justru menggeser paradigma di mana Polri akan bisa menjalankan tugas berbagai macam untuk kepentingan nasional dan keamanan nasional,” ujar dia.
Al Araf menilai materi dan diksi keamanan nasional yang termuat dalam pasal 14 ayat 1 RUU Polri tersebut merupakan salah kaprah. Sebab, bisa menimbulkan benturan antara fungsi militer dan kepolisian.
“Baru kali ini saya membaca diksi ‘keamanan nasional’ di UU Polri. Padahal di dalam UU yang lama, tidak ada diksi keamanan nasional. Sehingga Polri seperti ingin mengisi peran dalam konstruksi keamanan nasional, itu salah dan keliru karena konsep Polri dalam konteks keamanan dan kamtibmas itu harusnya mengurus keamanan individu bukan keamanan nasional,” kata dia.
Al Araf menilai, jika Polri tetap menggunakan diksi keamanan nasional dalam perannya, maka akan berdampak pada UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Keamanan Nasional. Beleid tersebut harus direvisi.
“DPR dan pemerintah pasti akan membuat rancangan RUU Keamanan Nasional yang sebenarnya itu selalu ditolak oleh masyarakat sipil selama 15 tahun ini. Memangnya kita mau memiliki rezim undang-undang yang represif lagi? Kita tidak mau ini terjadi hanya karena kesalahan dalam mengartikan peran Polri pada tataran konsep,” ungkap dia.
Selain itu, Al Araf juga menekankan bahwa revisi UU Polri akan mengubah kepolisian menjadi institusi superbody. Runyamnya, revisi itu juga tidak dibarengi dengan penguatan mekanisme kontrol (oversight mechanism) dan pengawasan, sehingga sangat rentan terjadi penyalahgunaan kewenangan.
“Dengan kewenangan yang ada saja, penyimpangan terus terjadi. Lalu ketika kewenangan ditambah lagi, maka kita akan mengasumsikan potensi penyimpangan akan terus bertambah karena peningkatan kewenangan tidak dibarengi dengan penguatan pengawasan,” ujar dia.