Willy Aditya Menekankan Urgensi Revisi UU Perbukuan

Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya/Metro TV

Willy Aditya Menekankan Urgensi Revisi UU Perbukuan

M Sholahadhin Azhar • 20 August 2025 18:08

Jakarta: Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menekankan urgensi perubahan UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan. Buku harus menjadi alat kapitalisasi ilmu pengetahuan, dan membangun sebuah peradaban.

"Itu (perubahan UU) sebagai spirit dan movement. Jadi tidak hanya buku sebagai diktat sekolah, sebagai produk yang diperdagangkan. Tapi bagaimana sistem ilmu pengetahuan, membangun critical thinking, dan membangun sebuah peradaban. Buku menjadi tools yang elementer," kata Willy di Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2025.

Hal tersebut diungkap Willy, dalam diskusi daring bertajuk 'Tata Kelola Pengetahuan dan RUU Buku di Indonesia'. Diskusi digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta.

Willy menyoroti rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Programme for International Student Assessment (PISA), peringkat literasi membaca Indonesia pada tahun 2022 berada di urutan ke-70 dari 80 negara, dengan skor 359. Skor itu masih tergolong rendah dibandingkan dengan skor rata-rata global.
 

Baca: DPR Beri Bantuan Pendidikan Buat Raihan, Bocah Pemanjat Tiang Bendera
 

"Kita mengalami sebuah decline, dekadensi secara gradual. Memang angka melek aksara-angka itu 96 persen, tapi angka literasi menurut PISA itu sangat rendah sekali. Karena literasi di sana ada pemahaman dan berpikir kritis," tegas Willy. 

Ada beberapa hal yang mendorong Willy mengusulkan perubahan UU Sistem Perbukuan. Di antaranya, UU existing itu sangat dikotomis dan memandang buku hanya sekadar diktat sekolah. Tidak ada pemahaman yang lebih luas.

"Buku ya semuanya harusnya. Sejauh ini subsidi yang diberikan oleh negara hanya kepada diktat sekolah saja. Itu yang menjadi alasan kenapa saya mau menjadikan ini sebagai hak inisiatif perorangan saya," kata Willy.

Selain itu, lanjut Willy, ekosistem perbukuan juga terbilang tidak sehat. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk buku, baik impor maupun produksi dalam negeri tinggi, yakni 11%.

"Buku dianggap barang mewah. Kalau di sini orang mikir, ini kita beli buku, nanti bisa makan atau tidak," ujar Willy.

Selanjutnya adalah royalti terhadap penulis buku. Menurut Willy, para penulis masih belum medapatkan sepenuhnya hak mereka. Rata-rata penulis hanya mendapat 7%-15% dari pendapatan penjualan buku yang mereka tulis.

"Royalti penulis ini manjadi konsen kita bagaimana menghargai penulis. Penghargaan terhadap ilmu pengetahuan itu rendah banget. Tidak hanya buku," tegas Willy.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)