Peralihan Kekuasaan

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Peralihan Kekuasaan

Abdul Kohar • 19 October 2024 05:21

MINGGU, 20 Oktober 2024, akan terjadi peralihan kekuasaan di Republik ini, dari Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Hingga hari ini, kita sukses menjalani masa transisi. Di sejumlah negara, transisi kekuasaan tidak selamanya berjalan mulus. Ada yang penuh gejolak, ada pula bahkan yang sampai terjadi pertumpahan darah.

Dalam banyak buku sejarah para raja di Nusantara ini ditulis bahkan transisi kekuasaan hampir selalu didahului pergolakan dan beberapa di antaranya saling bunuh. Karena itu, tidak mengherankan sumbu dendam kerap tersulut pada masa transisi. Apalagi, di zaman kerajaan itu, perebutan kekuasaan berputar-putar dan melingkar-lingkar di sekitar keluarga kerajaan.

Karena itu, beruntunglah para pendiri bangsa di negeri ini memilih bentuk negara republik kendati punya sejarah panjang kerajaan. Saya bilang beruntung karena bangsa ini, kini, terhindar dari kemelut pertumpahan darah dalam transisi menuju peralihan kekuasaan. Cukup di dua peralihan kekuasaan awal darah anak bangsa menetes.

Saya lalu teringat saat transisi kekuasaan menuju Kekaisaran Romawi terjadi. Transisi yang berlangsung dari sekitar 146 SM (Sebelum Masehi) hingga 30 SM itu dimulai dengan munculnya Republik Romawi sebagai kekuatan dominan di Mediterania. Transisi itu kemudian berakhir, setelah satu abad ketidakstabilan politik dan kerusuhan sosial, dengan satu orang naik takhta kekuasaan, yakni Caesar Augustus, kaisar pertama Romawi.

Selama tiga ratus tahun, Republik Romawi telah tumbuh, menyusut, tumbuh lagi, bertahan, lalu berkembang pesat. Selama periode pasang surut itu, orang Romawi tidak pernah melupakan prinsip dasar mereka: bahwa tidak ada raja yang boleh memerintah di Roma.
 

Baca juga: 

20 Kepala Negara Hadiri Pelantikan Prabowo-Gibran


Setiap tahun, orang-orang mencalonkan diri untuk pemilihan umum; setiap tahun warga negara bebas memberikan suara; dan setiap tahun kekuasaan dialihkan secara damai. Tidak ada satu pun orang yang ambisius melangkah keluar dari batas-batas konstitusi untuk merebut kendali negara.

Namun, sayang, orang Romawi, dengan segala kekuatan mereka di medan perang dan moralitas yang baik, tidak dapat membendung gelombang keserakahan dan ambisi yang mengintai di hati manusia di segala waktu dan tempat. Keberhasilan Romawi akan menjadi kehancuran Republik. Para pemimpin Roma menjadi lebih fokus pada ambisi pribadi untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan daripada stabilitas negara.

Untungnya kisah yang mengarah ke kemerosotan moral itu hanya memengaruhi beberapa keluarga terkemuka. Bagi mayoritas orang Romawi, penaklukan Mediterania berarti kemiskinan, bukan kemakmuran, karena perdesaan Italia berubah dari tanah yang didominasi pemilik tanah kecil menjadi tanah perkebunan besar yang digarap para budak.

Tidak ada tempat bagi keluarga Romawi yang miskin. Kemiskinan petani Italia secara bertahap, dan ketulian elite penguasa terhadap penderitaan mereka, terbukti fatal pada akhirnya. Proses itu berlangsung dari dekade ke dekade.
 
Baca juga: 

Santap Siang Terakhir Jokowi Bersama Para Menteri


Setelah satu abad intrik dan kekerasan politik terjadi, setelah mulai muncul tanda-tanda 'bendungan' akan jebol, dan muncul semua tingkah laku yang bertentangan dengan prinsip yang pernah dianggap baik dan benar, orang-orang Romawi yang kelelahan pun kembali ke dalam pelukan transisi yang aman dan menenangkan, setidaknya untuk sesaat.

Setelah itu, muncul lagi transisi yang bahkan memicu pertumpahan darah. Itu terjadi setelah apa pun yang mengikat para pemimpin Roma pada lembaga republik tradisional, mekanisme pengawasan, serta keseimbangan kekuasaan yang dibangun perlahan-lahan dihancurkan. Titik balik terjadi saat Tiberius Gracchus, sosok reformis, dibunuh. Itulah yang menandai dimulainya siklus kekerasan politik yang meningkat.

Begitulah transisi kekuasaan. Ada saja bahaya yang mengintip lalu menyelinap untuk membuat huru-hara. Sejarah mencatat dengan tinta tebal bahwa transisi kekuasaan dengan kekerasan akan menjadi luka sejarah yang susah disembuhkan. Kalaupun bisa, butuh waktu amat lama.

Karena itu, sebaik-baik transisi dan peralihan kekuasaan ialah proses yang damai. Ingatan kolektif kita mesti diarahkan pada pelajaran pedih transisi dan peralihan kekuasaan yang diwarnai kekerasan.

Saya teringat dengan kutipan amat populer dari Milan Kundera. Dalam novelnya berjudul The Book of Laughter and Forgetting (Kitab Lupa dan Gelak Tawa), sastrawan kelahiran Cekoslovakia itu mengingatkan, "Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa."

Mengusahakan transisi dan peralihan kekuasaan yang damai itu setara perjuangan ingatan melawan lupa.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)