Aniaya Junior, 6 Taruna PIP Semarang Dijatuhi 10 Bulan Penjara

Hakim Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada enam taruna PIP Semarang atas penganiayaan terhadap juniornya.

Aniaya Junior, 6 Taruna PIP Semarang Dijatuhi 10 Bulan Penjara

Media Indonesia • 14 October 2024 22:16

Semarang: Hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang dalam sidang putusan terhadap 6 taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang menjatuhkan vonis masing-masing 10 bulan penjara atas penganiayaan terhadap juniornya. Keluarga korban kecewa karena keputusan tersebut terlalu ringan.

Sidang vonis digelar singkat di PN Semarang dengan majelis hakim dipimpin Kukuh Kalinggo Yuwono atas kasus penganiayaan terhadap korban MG, taruna PIP, yang mengakibatkan luka berat dan ringan hingga tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah kedinasan.

Dalam keputusan dibacakan, hakim PN Semarang akhirnya menjatuhkan vonis kepada keenam terdakwa merupakan taruna PIP Semarang berinisial MDK, PDR, ZA, DP, YP, dan RNFF penjara 10 bulan atau lebih ringan dari tuntutan jaksa penjara satu tahun karena terbukti melanggar Pasal 170 jo 351 Ayat (1) jo 55 KUHP tentang penganiayaan terhadap juniornya.

Sidang vonis yang dihadiri kedua orang tua korban MG, 20, cukup mengundang perhatian, karena akibat penganiayaan oleh 6 seniornya itu mengakibatkan korban luka serius dan harus mendapatkan perawatan intensif secara fisik maupun psikologi. Juga diakui oleh para terdakwa bahwa penganiayaan dilakukan sebagai tradisi untuk mendisiplinkan taruna baru.
 

Baca juga: Keluarga Korban Pengeroyokan Senior Layangkan Somasi ke SMA 1 Makassar

Atas putusan hakim tersebut, baik korban maupun orang tuanya mengaku kecewa, karena vonis tersebut terlalu ringan serta tidak sebanding dengan penderita yang diaiami korban. Selain luka fisik dan harus mendapatkan perawatan psikologis juga kehilangan kesempatannya menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) setelah lulus dari sekolah kedinasan itu.

"Saya alami trauma berat karena diancam dan diintimidasi, kepastian menjadi CPNS juga hilang sehingga sekarang saya mengambil kuliah di sebuah universitas swasta," ujar korban MG.

Ibu korban Yoka didampingi kuasa hukum dari  LBH Semarang Nico Wauran mengaku kecewa atas vonis dijatuhkan hakim karena tidak mempertimbangkan masa depan anaknya sebagai korban kekerasan dan telah kehilangan hak-haknya termasuk menjadi CPNS. "Belum lagi dari kasus ini, anak saya kehilangan dua tahun masa pendidikannya," imbuh Yoka.

Kasus yang menimpa anaknya tersebut, menurut Yoka, negara sangat jelas tidak hadir bagi korban kekerasan di dunia pendidikan. "Negara tidak serius dalam memberantas premanisme dan menormalisasi kekerasan dalam dunia pendidikan," ungkapnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Meilikhah)