Jurnalis yang terisolasi di Linge, Gayo Lues saat bencana banjir dan longsor melanda Aceh. Foto: Dokumentasi Pribadi Ayu
Fajri Fatmawati • 8 December 2025 13:15
Banda Aceh: Tujuh hari tanpa kabar, tanpa jaringan, dan tanpa kepastian menjadi pengalaman yang tak akan pernah dilupakan oleh Wahyu Majiah, 27 tahun, jurnalis BTV Aceh. Tugas liputan yang awalnya menyenangkan lantaran memotret kemeriahan Festival Linge di Gayo Lues, berubah menjadi perjuangan hidup melawan banjir bandang, tanah longsor, rasa takut, lapar, dan penyesalan yang menghantui selama terjebak di tengah bencana yang meluluhlantakkan Aceh.
Ayu -sapaan akrabnya- masih mengingat jelas percakapan terakhir dengan ayahnya. Telepon yang ia abaikan karena sibuk bekerja, menjadi sumber penyesalan terdalam ketika jaringan terputus total.
“Ya bentar, nanti aja telepon, ini lagi di Takengon," kata Ayu kepada sang ayah melalui sambungan telepon, kala itu.

Wahyu Majiah, 27, jurnalis yang terisolasi di Linge, Gayo Lues saat bencana banjir dan longsor melanda Aceh. Foto: Dokumentasi Pribadi Ayu
Sementara kini, ia berjuang menembus longsor selama tiga hari dengan kaki lecet. Di kampung halamannya, sang ayah panik ingin menyusulnya, dan ibunya bahkan tak sanggup makan karena memikirkan keselamatannya.
Baru pada hari ketujuh Ayu berhasil mengirim pesan pendek lewat telepon satelit tim penyelamat: “Ayu selamat.”
Perjalanan Menyusuri Jalan yang Hilang
Ayu berangkat dari Banda Aceh pada 24 November 2025. Namun bencana sudah menunggu di Linge. Gempa mengguncang lokasi ia menginap pada 25 November, disusul banjir bandang dan longsor besar pada 26 November yang memutus akses dan komunikasi di sedikitnya 18 kabupaten/kota di Aceh.
Dengan logistik menipis dan situasi makin tidak terkendali, Ayu dan 41 orang lainnya, termasuk rekan-rekan jurnalis, memutuskan untuk dievakuasi. Jalan keluar itu ternyata adalah sebuah perjalanan penuh tantangan yang tak pernah mereka bayangkan.
“Ya Allah sedih aku, bentar-bentar keluar air mata. Aku sehat, cuma kaki aja banyak lecet karena naik turun bukit, melewati longsor dengan hilang jaringan (sinyal). Ini baru ada jaringan di Takengon, menangis lagi aku kan, tiga hari aku jalan kaki," ujarnya kepada
Metrotvnews.com, Senin, 8 Desember 2025, sambil menahan rasa sedih.
Jurnalis yang terisolasi di Linge, Gayo Lues saat bencana banjir dan longsor melanda Aceh. Foto: Dokumentasi Pribadi Ayu
Titik paling berat, kata Ayu, adalah sebelum Kampung Uning. Warga yang juga terdampak membuat jalur darurat dari papan dan batang kayu di atas lumpur tebal untuk menyeberangkan para pengungsi. Di sepanjang perjalanan, rombongan bertemu pengungsi lain yang sudah berjalan kaki lima hari dari Blang Kejeren menuju Takengon.
Kebaikan Warga Jadi Penyelamat
Meski sama-sama berjuang, warga tetap membantu seisi rombongan. Mereka berbagi mi instan, air minum, pisang, bahkan tempat berteduh, meski logistik mereka sendiri nyaris habis.
“Di Owa dan Uning logistik warga sudah menipis, tapi mereka masih berbagi. Itu sangat menyentuh hati,” ujar Ayu.
Penyesalan yang Membekas
Kerinduan dan penyesalan mendalam menyelimuti Ayu saat mengingat keluarganya. Sehari sebelum bencana, ia menunda telepon dari ayahnya karena sibuk meliput.
"Aku kayak cuman bilang
'ya bentar, nanti aja telepon lagi'. Aku menyesal karena hilang kontak dengan keluarga sampai tujuh hari," ucap Ayu penuh penyesalan.
Jurnalis yang terisolasi di Linge, Gayo Lues saat bencana banjir dan longsor melanda Aceh. Foto: Dokumentasi Pribadi Ayu
Keluarganya di Banda Aceh dan di Aceh Selatan pun panik. Ayah dan abangnya sempat mencoba menyusul, tetapi terpaksa balik karena akses putus total.
"Mamak sama ayahku sampai enggak mau makan, kepikiran," ujar Ayu lirih.
Baru setelah bertemu tim yang memiliki telepon satelit, Ayu berhasil memberi kabar, dan keluarganya akhirnya bisa bernapas lega.
Melintasi Jejak Kehancuran
Sepanjang perjalanan melintasi area bencana, mata Ayu tak lepas dari kondisi hutan di sepanjang Bukit Barisan. Menurut dia, banyak kayu-kayu besar yang hanyut saat melintasi area banjir.
"Sepanjang jembatan yang kami lalui dan area banjir, kami lihat kayu-kayu besar yang hanyut, seakan mengisyaratkan banyak penebangan hutan. Harusnya di sepanjang jalur Bukit Barisan itu tidak ditanami pinus, kenapa enggak ditanam kayu hutan saja agar bisa mengikat air dan tanah biar enggak terjadi longsor," ungkap Ayu.
Perjalanan hampir 50 kilometer itu akhirnya berakhir setelah tim evakuasi dari Banda Aceh menjemput dan membawa mereka ke posko di Takengon. Kini Ayu sudah tiba di Banda Aceh.
Ayu kini membawa kisah selamat, bukan cuma soal liputan tapi juga pelajaran hidup. Bahwa betapa rapuhnya manusia di hadapan alam, dan kuatnya ikatan tolong-menolong warga di tengah musibah. Berkabar itu penting.