Penulis buku sekaligus sejarawan, Peter Carey. Foto: Instagram @peterbrcarey.
Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) menyelenggarakan diskusi buku bertema 'Catatan A.A.J. Payen, Babad Diponegoro, dan 200 Tahun Perang Jawa' di Creative Space, Gramedia Jalma, Jakarta, Rabu, 3 Desember 2025. Diskusi ini membahas dua buku utama yang ditulis oleh sejarawan terkemuka, Peter Carey, berjudul 'Babad Diponegoro: Sebuah Hidup yang Ditakdirkan' dan 'Catatan Perjalananku ke Yogyakarta 1825'.
Buku 'Babad Diponegoro: Sebuah Hidup yang Ditakdirkan' merupakan buku autobiografi Jawa modern pertama yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro sendiri dalam bentuk tembang macapat. Buku ditulis saat Diponegoro diasingkan di Manado selama sembilan bulan.
Sementara, buku 'Catatan Perjalananku ke Yogyakarta 1825' menyajikan sudut pandang unik dari pelukis asal Belgia, A.A.J. Payen. Buku ini mengisahkan pengalaman Payen saat terjebak di Yogyakarta menjelang meletusnya Perang Jawa pada 20 Juli 1825.
Buku 'Babad Diponegoro: Sebuah Hidup yang Ditakdirkan'. Foto: Instagram @penerbitkpg.
Menurut Peter, terdapat keterkaitan kuat antara Babad Diponegoro dan catatan perjalanan A.A.J. Payen dalam menggambarkan situasi politik dan sosial sebelum Perang Jawa 1825. Carey menjelaskan bahwa catatan Payen memberikan gambaran hari demi hari di Yogyakarta melalui lensa seorang seniman yang melihat langsung buruknya sistem administrasi Belanda.
"Tidak jauh dari pengalaman kita pada masa sekarang ya. Situasi tentang korupsi yang masif dan terstruktur di dalam tubuh pemerintah. Isu dari pengaruh dari luar kolonial dan juga bagaimana budaya dan kepribadian Jawa diremehkan oleh kekuatan baru yaitu kekuatan kolonial. Jadi bagaimana respons ya," papar Carey.
Carey menambahkan, baik dari Babad Diponegoro maupun catatan Payen, terlihat jelas betapa cepatnya situasi memburuk hingga pecah
Perang Diponegoro. Payen, yang saat itu berada di Yogyakarta untuk memperbaiki Gedung Agung yang rusak akibat gempa bumi, menyaksikan pecahnya perang hanya dalam hitungan dua hingga tiga minggu setelah kedatangannya.
Buku 'Catatan Perjalananku ke Yogyakarta 1825'. Foto: Instagram @penerbitkpg.
"Dia bisa dengan sangat cermat dan dengan jeli dari seorang seniman, bisa mengisahkan yang cara yang sangat hidup bagi kita. Apa sebenarnya arus dan bagaimana terjadi satu perang yang begitu dahsyat dan begitu tiba-tiba," ujar Carey.
Kegiatan diskusi ini juga menghadirkan Helene Njoto, seorang sejarawan seni dan arsitektur periode Islam dan kolonial awal, serta Aminudin Th Siregar, Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), sebagai narasumber pendamping.
(Metro TV/Heinrich Terra)