Hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober mengingatkan bangsa Indonesia akan ikrar bersejarah yang diikrarkan pada 1928. (Dok.Istimewa)
Whisnu Mardiansyah • 14 October 2025 15:59
Jakarta: Sebuah ikrar yang lahir dari sebuah kongres pemuda pada akhir Oktober 1928, tidak hanya menjadi memoar sejarah, tetapi menjadi jiwa yang mempersatukan nusantara. Sumpah Pemuda bukan sekadar teks yang dibacakan, melainkan kristalisasi dari sebuah mimpi kolektif untuk menjadi satu Bangsa Indonesia.
“Ikrar ini adalah puncak dari pergumulan pemikiran kami, sebuah kesadaran bahwa kita harus bersatu atau tetap terjajah sebagai bangsa yang terpecah-belah,” ujar Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda II, dalam suatu kesempatan wawancara sejarah. Pernyataan itu menggambarkan semangat yang menggelora pada Minggu, 28 Oktober 1928, hari yang kemudian dikenang sebagai momen bersejarah.
Kongres Pemuda II tidak hadir secara tiba-tiba. Ia merupakan puncak dari rangkaian Kongres Pemuda I pada 30 April hingga 2 Mei 1926 di Batavia. Kongres pertama gagal menghasilkan kesepakatan bulat akibat masih kuatnya semangat kedaerahan. Dua tahun kemudian, para pemuda dari berbagai organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Sekar Rukun, dan lainnya, kembali bersatu.
Kongres Pemuda II berlangsung selama dua hari, 27-28 Oktober 1928, di tiga gedung berbeda. Rapat pertama digelar di Gedung Katholieke Jongelingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Rapat kedua dilanjutkan di Gedung Oost-Java Bioscoop, dan penutupan bersejarah berlangsung di Gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106.
Suasana kongres diwarnai debat intelektual yang panas namun penuh semangat kebangsaan. Para pemuda mendiskusikan persatuan Indonesia dari berbagai aspek; pendidikan, kebudayaan, ekonomi, hingga pers.
Momen paling menentukan terjadi pada sesi penutupan. Saat itu, Sunario, sebagai perwakilan Panitia Kongres, sedang berpidato tentang pentingnya nasionalisme dan demokrasi. Di tengah pidato, Mohammad Yamin, seorang pemuda dari Jong Sumatranen Bond, menyodorkan selembar kertas kepada Soegondo Djojopoespito yang memimpin sidang.
Di atas kertas itu, terangkum tiga poin ikrar pemersatu. Dengan penuh keyakinan, Soegondo kemudian membacakan isi kertas tersebut di hadapan sekitar 700 peserta kongres. Teks itulah yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda:
Pertama:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pembacaan ikrar ini disambut dengan gegap gempita dan air mata haru. Sebagai penutup kongres, Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya memperdengarkan lagu ciptaannya, "Indonesia Raya", dengan diiringi biola. Pemerintah kolonial Belanda melarang liriknya dinyanyikan, sehingga lagu tersebut dimainkan secara instrumental. Namun, alunan musiknya saja sudah cukup membakar semangat kebangsaan semua yang hadir.
Menggali Makna Mendalam di Balik Tiga Ikrar
Menurut sejarawan AB Kusumaningrat dalam buku "Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional", makna Sumpah Pemuda jauh lebih dalam dari sekadar teks. Ikrar ini mengandung enam makna fundamental:
Pengakuan Kesatuan Geografis dan Politik: Ikrar "tanah air Indonesia" merupakan deklarasi kesetiaan pada satu wilayah territorial yang melampaui batas-batas kerajaan dan kesultanan.
Kelahiran Entitas Bangsa Baru: Pengakuan "bangsa Indonesia" menandai kelahiran sebuah konsep bangsa (nation) yang inklusif, terdiri dari berbagai suku dan etnis.
Pemersatu Komunikasi dan Budaya: Penjunjungan "bahasa Indonesia" menetapkan Melayu (yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia) sebagai lingua franca, alat pemersatu yang strategis melampaui ratusan bahasa daerah.
Pernyataan Politik dan Kehendak Bersama: Ikrar ini merupakan manifestasi dari satu kemauan politik (le desir d'etre ensemble) untuk hidup bersama dalam satu negara-bangsa.
Peleburan Identitas Kedaerahan: Sumpah ini menjadi alat untuk melampaui dan meleburkan identitas kedaerahan (Jawa, Sumatera, Ambon, dll) ke dalam identitas yang lebih besar: Indonesia.
Deklarasi kepada Dunia: Ikrar ini menjadi pernyataan kepada dunia internasional tentang eksistensi sebuah bangsa yang bernama Indonesia, yang berhak atas kemerdekaan dan kedaulatan.
Sumpah Pemuda menjadi pemantik dan penyatu arah pergerakan nasional. Organisasi-organisasi pemuda yang sebelumnya bergerak secara kedaerahan mulai mengoordinasikan perjuangannya. Ikrar ini memberikan fondasi ideologis yang kokoh bagi pergerakan menuju kemerdekaan, yang akhirnya terwujud 17 tahun kemudian, pada 17 Agustus 1945.
Semangat Sumpah Pemuda terus bergelora selama masa revolusi fisik. Para pemuda yang pernah menghadiri kongres atau terinspirasi olehnya, menjadi tulang punggung dalam mempertahankan kemerdekaan dengan diplomasi maupun angkat senjata.