Foto Radio di Batavia tahun 1930. (KTLV)
Riza Aslam Khaeron • 16 August 2025 18:42
Jakarta: Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya dengan penuh semangat. Tahun ini, peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-80 menjadi momen reflektif yang mengajak kita menengok kembali detik-detik bersejarah berdirinya negara ini.
Salah satu aspek yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana berita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru negeri—di tengah represi militer Jepang dan keterbatasan infrastruktur komunikasi.
Padahal, keberhasilan menyebarluaskan kabar proklamasi dalam waktu singkat bukanlah hal yang sederhana. Dibutuhkan keberanian, inisiatif teknis, dan pemanfaatan maksimal atas alat komunikasi yang tersedia, mulai dari telepon, teletype, hingga siaran radio.
Berikut penjelasan mengenai proses penyebaran berita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan alat komunikasi yang digunakan.
Proses Penyebaran Berita Proklamasi 17 Agustus 1945
Gambar: Ilustrasi telepon buatan Belanda tahun 1932. (HCO Zwolle)
Setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada pukul 10.00 WIB, penyebaran informasi tentang
kemerdekaan Indonesia segera dilakukan melalui berbagai alat komunikasi yang tersedia saat itu—dengan segala keterbatasan akibat pendudukan militer Jepang.
Langkah awal dilakukan oleh Adam Malik, yang langsung menghubungi kantor berita ANTARA, kantor berita yang ia dirikan tahun 1937 melalui telepon.
Ia mendiktekan isi teks Proklamasi kepada wartawan Asa Bafagih, yang kemudian menyerahkannya kepada redaktur Pangulu Lubis. Kalimat perintah tegas “jangan sampai gagal” menjadi penanda penting bahwa kabar ini harus segera disebarkan ke publik, secepat mungkin dan dengan segala cara yang tersedia.
Dari kantor berita ANTARA, teks Proklamasi kemudian dialirkan melalui jaringan telegraf D?mei, sebuah sistem komunikasi kabel yang dimiliki Jepang dan terhubung ke berbagai kota besar di Indonesia.
Foto: Markonis mengoperasikan telegraf di Hindia Belanda, 1912-1948. (Dok. Dinas Penghubung TNI AD via Arsip Nasional Belanda)
Para markonis (operator telegraf) diberi instruksi untuk menyelipkan naskah proklamasi di antara berita resmi lainnya dengan cara tersembunyi, menggunakan sistem
morse-cast agar dapat menghindari sensor dari Hodokan (lembaga sensor Jepang).
Dengan strategi ini, berita proklamasi dapat menjangkau kota-kota seperti Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta hanya dalam waktu beberapa jam setelah pembacaan naskah aslinya di Jakarta.
Pada malam harinya, sekitar pukul 19.00 WIB, berita
kemerdekaan Indonesia mulai disiarkan melalui radio H?s? Kyoku—stasiun siaran Jepang di Jakarta. Dalam siaran tersebut, teks Proklamasi dibacakan oleh Yusuf Ronodipuro dalam Bahasa Indonesia dan Suprapto dalam Bahasa Inggris.
Siaran malam itu ditujukan untuk menjangkau khalayak luar negeri.
Foto: Surat kabar Soeara Asia, dok: X @fadlizon
Keesokan harinya, 18 Agustus, surat kabar
Soeara Asia yang terbit di Surabaya menjadi salah satu media pertama yang mengabarkan berita Proklamasi. Koran ini banyak dicatat sebagai surat kabar pertama yang memberitakan kemerdekaan pada hari itu, meskipun sejumlah harian baru memuat teks lengkap Proklamasi pada 20 Agustus.
Pada hari yang sama, Radio H?s? Kyoku Surabaya juga ikut menyiarkan Proklamasi sekitar pukul 19.00 WIB. Untuk menghindari deteksi dari Kempeitai (polisi militer Jepang), siaran awal dilakukan dalam bahasa Madura, lalu disusul pembacaan dalam Bahasa Indonesia.
Foto: Kantor RRI tempo dulu. (via KPI)
Namun, pada 20 Agustus 1945, otoritas Jepang mulai menyadari gerakan penyiaran ini dan langsung menyegel kantor D?mei dan pemancarnya di Jakarta. Para pegawai dilarang masuk, dan jalur komunikasi resmi terputus.
Sebagai respons, kelompok pemuda dan teknisi radio bergerak cepat membangun pemancar alternatif dari Menteng 31, demi memastikan siaran kemerdekaan tetap berlanjut.
Untuk memperkuat sistem komunikasi nasional, para pengelola bekas stasiun radio Jepang akhirnya membentuk Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945. Lembaga ini kemudian menjadi tulang punggung siaran negara republik yang baru lahir.
Penyebaran berita Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya soal keberhasilan teknis, melainkan juga simbol keteguhan bangsa dalam memperjuangkan eksistensinya di tengah keterbatasan.
Di balik telepon, kabel telegraf, siaran radio, dan lembaran surat kabar, terdapat keberanian individu dan solidaritas kolektif untuk memastikan bahwa kemerdekaan benar-benar terdengar dan diakui.
Dari langkah pertama Adam Malik hingga lahirnya RRI, semua membentuk fondasi komunikasi republik yang baru lahir—dan patut dikenang dalam setiap peringatan
kemerdekaan.