Riza Aslam Khaeron • 12 August 2025 16:44
Jakarta: Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada Minggu, 17 Agustus 2025, semangat kebangsaan kembali mengemuka. Momen ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi kesempatan untuk merefleksikan kembali nilai-nilai dasar yang membentuk jati diri bangsa.
Salah satu simbol paling esensial dari keberadaan dan kedaulatan Republik Indonesia adalah Lambang Negara: Garuda Pancasila, yang ditetapkan secara resmi pada Rabu, 17 Oktober 1951.
Garuda Pancasila bukan sekadar gambar yang terpampang di gedung pemerintahan atau dokumen resmi. Ia adalah manifestasi visual dari ideologi bangsa yang dibentuk melalui proses panjang penuh dinamika, kompromi, dan pemikiran mendalam dari para pendiri negara.
Setiap unsur dalam desainnya, mulai dari jumlah bulu, perisai, hingga arah kepala burung, mengandung makna filosofis yang mendalam. Berikut sejarah dan filosofi lengkap di balik penciptaan Lambang Negara Garuda Pancasila.
Sejarah Desain Lambang Garuda Pancasila
Foto: Lambang Kesultanan Samudera Pasai, tahu 1267. (Buku Garuda Pancasila: Sejarah Penciptaan Lambang Negara/BPIP)
Melansir buku
Garuda Pancasila: Sejarah Penciptaan Lambang Negara tahun 2023 karya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Jejak figur Garuda dalam simbol-simbol Nusantara telah mengakar jauh sebelum
kemerdekaan Indonesia.
Sejak abad ke-6 hingga ke-16 Masehi, sosok Garuda hadir dalam relief dan arca di berbagai candi seperti Dieng, Prambanan, Penataran, hingga Candi Cetho.
Dalam mitologi Hindu-Buddha, Garuda merupakan kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan kekuatan, keberanian, serta penjaga alam semesta. Figur ini juga digunakan oleh berbagai kerajaan seperti Kahuripan, Bima, Sintang, dan Samudera Pasai sebagai simbol kebesaran dan kekuasaan.
Khusus pada Kesultanan Samudera Pasai, ditemukan lambang tahun 1267 yang memiliki kemiripan bentuk dengan Garuda Pancasila. Lambang ini dirancang oleh Sultan Zainal Abidin dan memuat unsur keislaman seperti kalimat tauhid, rukun Islam, serta simbol kepala dan sayap yang sarat nilai religius.
Gambar: sketsa simbol-simbol garuda di berbagai candi yang dikirimkan Ki Hajar Dewantara. (Buku Garuda Pancasila: Sejarah Penciptaan Lambang Negara/BPIP)
Mohammad Natsir diduga yang membawa desain lambang Samudera Pasai ini ke meja Panitia Perencana ketika para pendiri bapak negara masih membahas desain Lambang Negara.
Gagasan resmi mengenai perlunya lambang negara Indonesia muncul dalam Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Jumat, 13 Juli 1945. Dalam sidang tersebut, Parada Harahap mengusulkan pembuatan lambang negara yang mencerminkan identitas bangsa yang baru
merdeka.
Meskipun telah disetujui untuk dimasukkan ke dalam Undang-Undang Istimewa, implementasinya baru dimulai pada akhir tahun 1948.
Pada Selasa, 16 November 1948, Presiden Soekarno membentuk Panitia Indonesia Raya melalui Penetapan Presiden Nomor 28 Tahun 1948. Panitia ini dipimpin Ki Hajar Dewantara dengan Mohammad Yamin sebagai sekretaris umum dan beranggotakan 21 tokoh lainnya.
Gambar: 15 karya rancangan lambang negara hasil sayembara. (Buku Garuda Pancasila: Sejarah Penciptaan Lambang Negara/BPIP)
Mereka meneliti simbol-simbol peradaban Nusantara dan menemukan sosok burung Garuda di berbagai sumber, seperti relief Candi Prambanan, Candi Dieng, dan simbol Kesulatan Samudera Pasai yang sudah disebutkan.
Panitia juga mengadakan sayembara desain lambang negara, namun 15 karya yang masuk dinyatakan belum memenuhi kriteria, khususnya dalam merepresentasikan Pancasila.
Perjalanan lambang negara memasuki fase baru setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Presiden Soekarno menunjuk Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dengan tugas khusus merancang lambang negara.
Pada Selasa, 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Perencana Lambang Negara yang diketuai oleh Mohammad Yamin dan beranggotakan tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Mohammad Natsir, M.A. Pellaupessy, dan R.M. Ng. Poerbatjaraka.
Presiden Soekarno kemudian memberi arahan agar lambang negara mencerminkan falsafah hidup bangsa, yakni Pancasila.
Panitia Perencana Lambang Negara kemudian menyepakati visualisasi lima sila Pancasila dalam bentuk simbol di atas perisai yang dicengkeram Garuda. Beberapa tokoh mengusulkan lambang sesuai sila yang mereka representasikan:
- Mohammad Natsir mengusulkan Nur (cahaya) berbentuk bintang bersudut lima di tengah perisai sebagai simbol sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Sultan Hamid II mengusulkan rantai untuk sila Kemanusiaan, terinspirasi dari kalung Dayak.
- Raden Mas Ng. Poerbatjaraka mengusulkan Pohon Astana (beringin) sebagai lambang sila Persatuan Indonesia.
- Mohammad Yamin mengusulkan Kepala Banteng untuk sila Kerakyatan, yang melambangkan tenaga rakyat.
- Ki Hajar Dewantara mengusulkan Padi-Kapas sebagai simbol sila Keadilan Sosial, melambangkan sandang dan pangan.
.jpg)
Gambar: Lambang negara bentuk antropomorfis. (Buku Garuda Pancasila: Sejarah Penciptaan Lambang Negara/BPIP)
Sultan Hamid II dan Mohammad Yamin kemudian masing-masing mengajukan rancangan. Yamin mengusulkan lambang bernama Aditya-Chandra yang bergaya sinar matahari, namun ditolak karena terlalu mirip dengan simbol Jepang.
Sementara itu, Sultan Hamid II menyusun rancangan yang terinspirasi dari pertemuannya dengan Kepala Swapraja Sintang, Ade Mohammad Djohan, serta memanfaatkan referensi relief Garuda yang dikumpulkan oleh Panitia Indonesia Raya.
Rancangan Sultan Hamid II menggambarkan figur Garuda dalam bentuk setengah manusia—dikenal sebagai bentuk antropomorfis. Dalam desain ini, Garuda berdiri tegak layaknya manusia, berkepala burung, bersayap, dan memegang perisai bergambar simbol-simbol Pancasila di bagian dada.
Konsep antropomorfis ini memang memiliki akar dalam ikonografi Nusantara, seperti yang terlihat pada arca di Candi Dieng dan Candi Belahan.
Namun, bentuk ini memunculkan perdebatan tajam di kalangan panitia. Mohammad Natsir, salah satu anggota panitia, dengan tegas menolak rancangan tersebut karena dianggap terlalu feodal dan mitologis, tidak sejalan dengan semangat negara modern yang egaliter dan rasional.
Atas dorongan Presiden Soekarno, bentuk Garuda diubah menjadi lebih realistis menyerupai rajawali dan bentuk antromorfis dihilangkan. Sultan Hamid II berkonsultasi dengan ahli heraldik Dirk Ruhl Jr., yang kemudian menyempurnakan desain teknisnya.
Dalam rapat pada Rabu, 8 Februari 1950, M.A. Pellaupessy mengusulkan jumlah bulu ekor ditambah menjadi delapan helai, menyelaraskan dengan bulu sayap (17 helai), leher (45 helai), dan pangkal ekor (19 helai) sebagai sandi tanggal kemerdekaan: 17-8-1945.
Gambar: Desain Garuda Pancasila gundul dan cakar terbalik yang dianggap kurang gagah oleh Soekarno. (Buku Garuda Pancasila: Sejarah Penciptaan Lambang Negara/BPIP)
Setelah melewati penyempurnaan akhir, usulan Sultan Hamid II diterima oleh Kabinet RIS dan diperkenalkan secara publik oleh Presiden Soekarno pada Rabu, 15 Februari 1950. Namun, desain awal dianggap kurang gagah dan berjambul. Presiden meminta penyempurnaan lagi: jambul ditambah, arah cakar diperbaiki agar mencengkeram pita “Bhinneka Tunggal Ika” ke depan.
Proses penyempurnaan melibatkan pelukis Kementerian Penerangan, Dullah, dan kembali disupervisi oleh Dirk Rühl Jr. Revisi final inilah yang akhirnya disahkan Presiden Soekarno pada Senin, 20 Maret 1950.
Lambang negara mulai digunakan secara luas pada Kamis, 17 Agustus 1950 dan ditetapkan secara resmi pada Rabu, 17 Oktober 1951 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 66 Tahun 1951.
Makna Lambang Garuda Pancasila
Gambar: Lambang negara Garuda Pancasila yang telah disetujui, (PP No. 66 Tahun 1951 via BPIP)
Melansir BPIP, lambang Garuda Pancasila bukan sekadar simbol kenegaraan, tetapi juga merupakan representasi nilai-nilai luhur yang membentuk identitas dan cita-cita bangsa Indonesia.
Setiap elemen pada lambang ini memiliki arti tersurat maupun tersirat yang mencerminkan karakter, semangat, dan arah tujuan nasional.
Berikut makna-makna setiap elemen di Garuda Pancasila:
-
Burung Garuda: Digambarkan dalam posisi mengembang dengan sayap siap terbang, burung Garuda melambangkan kekuatan, keberanian, dan gerak dinamis. Ia adalah raja segala burung, dikenal pula sebagai Elang Rajawali atau Burung Sakti. Sayapnya yang terbuka merepresentasikan semangat bangsa Indonesia untuk menjulang tinggi di tengah dunia.
-
Warna Emas: Warna dasar Garuda adalah emas, yang menyimbolkan keagungan dan kemuliaan. Hal ini mencerminkan martabat bangsa Indonesia yang luhur dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.
-
Jumlah Bulu: Terdapat makna simbolik pada jumlah bulu Garuda:
-
17 helai bulu di tiap sayap (melambangkan tanggal kemerdekaan)
-
8 helai bulu di ekor (melambangkan bulan Agustus)
-
19 helai bulu di bawah perisai (pangkal ekor)
-
45 helai bulu di leher
Kombinasi angka-angka tersebut merujuk langsung pada tanggal Proklamasi: 17 Agustus 1945.
-
Perisai: Perisai di dada Garuda menandakan perjuangan dan perlindungan. Garis horizontal di tengah perisai menggambarkan garis Khatulistiwa, yang secara geografis membelah Indonesia. Lima simbol dalam perisai melambangkan kelima sila dalam Pancasila, sebagai dasar negara.
-
Pita Bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”: Dicengkeram erat oleh kedua cakar Garuda, pita putih bertuliskan semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika” (“Berbeda-beda tetapi tetap satu”) berasal dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Semboyan ini menggambarkan persatuan dalam keberagaman suku, budaya, dan agama bangsa Indonesia.
Lambang Garuda Pancasila bukanlah sekadar artefak heraldik, melainkan kristalisasi nilai, sejarah, dan identitas bangsa Indonesia yang terus relevan hingga hari ini. Ia merekam jejak peradaban Nusantara, perdebatan ideologis para pendiri negara, serta semangat persatuan dalam keberagaman yang menjadi fondasi Republik.
Di tengah tantangan zaman, Garuda Pancasila tetap berdiri tegak sebagai pengingat bahwa kekuatan bangsa terletak pada kesadaran kolektif untuk menjunjung tinggi Pancasila, menjaga persatuan, dan melangkah maju dengan kepala tegak di bawah panji
kemerdekaan.