Podium MI: Panggung Simulakra

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Panggung Simulakra

Abdul Kohar • 6 December 2025 07:15

JAGAT maya diaduk-aduk oleh kontroversi pernyataan sejumlah pejabat serta aksi teatrikal mereka dalam merespons bencana banjir dan tanah longsor Sumatra. Karena itu, di dunia maya ada yang bilang, 'Empati telah dikubur oleh aksi basa-basi'. Cibiran dan antipati netizen pun berhamburan. Mereka sudah bosan dengan gaya pencitraan, laku hiperealitas, yang kering kerontang dari empati seperti itu.

Harian ini, melalui Editorial bertajuk Derita Rakyat bukan Ladang Konten, menggambarkan bagaimana aksi sejumlah pejabat itu: 'Namun, ternyata ada pejabat dan elite politik yang mendatangi lokasi bencana dengan penampilan yang teatrikal disertai rombongan dokumentasi dan gestur dramatis. Wajar jika banyak yang menyebut mereka menjadikan situasi bencana sebagai panggung pencitraan'.

'Yang paling celaka, warga terdampak bencana sering diperlakukan seperti latar belakang dalam foto dan video yang mereka sebarkan. Kedukaan ditampilkan ibarat latar panggung sandiwara. Tangisan mereka jadi bahan konten. Rumah yang hancur jadi backdrop dramatis untuk caption 'kami hadir bersama rakyat'.

Ada pejabat memanggul beras 10 kilogram dengan para ajudan di sayap kanan, kiri, belakang 'mengamankan' sang bos. Seperangkat kamera pun disiapkan, seolah ia ungkapan derita tak terperi. Nyatanya, publik menilai itu panggung simulakra belaka.

Simulakra ialah representasi atau salinan yang tidak lagi merujuk pada realitas aslinya, atau bahkan tidak memiliki dasar realitas sama sekali. Itu merupakan konsep filosofis yang dipopulerkan oleh Jean Baudrillard, yang menggambarkan tanda atau citra 'palsu' yang justru menggantikan atau menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri (hiperealitas).

Ada seorang pejabat yang putri seorang pejabat ikut menyerok lumpur di sebuah rumah korban banjir. Namun, caranya membuang lumpur, gestur yang kaku, dandanan yang necis, serta sorotan kamera dari tim membuat netizen ragu benarkah itu empati?

Ada wakil rakyat yang datang ke lokasi bencana mengenakan rompi militer ala-ala rompi antipeluru dengan disertai asisten, lengkap dengan sorot kamera. Netizen menyinyir dengan kata-kata, 'ini medan bencana, bukan medan perang'.

Baca juga: Menko PMK Beberkan Perintah Presiden Percepat Rekonstruksi Wilayah Terdampak Bencana di Sumatra

Saya lebih percaya empati yang ditulis melalui lagu dan puisi. Ekspresi seni lebih jujur sebagai bentuk empati. Lagu dan puisi itu terus hidup menembus waktu sebagai pengingat agar tak ada yang lalai. Seperti lagu Nyanyian Burung dan Pepohonan karya Ebiet G Ade yang dirilis hampir empat dekade yang lalu (1988):

Pernahkah engkau dengar
nyanyian burung murai
Ketika gerimis turun
langit tertutup kabut?
Bersiul memilukan
Berderai menikam mendung

Suara laut pun sirna
terbang entah ke mana
Dan, di saat yang lain
kala mentari bangkit
Menyiram jagat raya
Kicaunya pun ceria
Bersama semilir angin
mengalirlah semangat
Kecipak air kali
menyegarkan jiwa


Oh, betapa jauhnya
jalan terjal kutempuh
Menembus kegelapan
Menyibak alang-alang

Oh, murai bernyanyilah
Mengiringi langkahku
Wajah bumi semakin
renta dan penuh luka

Pernahkah engkau dengar
nyanyian pepohonan
Di tengah belantara
sepi menembus kelam?

Kelak tinggal catatan
Di sini pernah berdiri
tegar menyangga langit
Kini tinggal puing'


Banjir Sumatra juga melahirkan paradoks. Salah satunya ironi kayu batangan. Mungkin hanya di Indonesia, banjir bandang diiringi dengan kayu batangan. Bahkan, kayu-kayu itu sudah ada nomornya pula. Fakta itu secara telak menjawab bahwa kayu-kayu itu bukan tumbang karena lapuk lalu terseret air bah sebagaimana kata Kementerian Kehutanan.

Ada pula paradoks saat pemimpin penanggulangan bencana menilai bahwa 'bencana mencekam di media sosial semata'. Lalu, ketika banjir dan tanah longsor nyaris merenggut seribu nyawa, ia meminta maaf sebesar-besarnya.

Kondisi wilayah terdampak bencana di Aceh. Foto: Kemhan.

Terkait dengan paradoks kayu batangan ini, saya lalu teringat lagu karya Iwan Fals yang jadi pengingat sepanjang hayat berjudul Isi Rimba tak Ada Tempat Berpijak Lagi. Lagu itu dirilis lebih dari empat dekade lalu (1982) saat pembalakan hutan mulai agresif dilakukan:

Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Tanpa HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu?
Oh, mengapa?
 
Oooh... jelas kami kecewa
Menatap rimba yang dulu perkasa
Kini tinggal cerita
Pengantar lelap si buyung
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
Lestarikan hutan hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja?

Oooh... jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rezeki generasi nanti'

 
Baca juga: 

Prananda Surya Paloh Foundation Salurkan Bantuan untuk Warga Aceh Tamiang


Dalam dimensi religiositas, lagu pengingat dari sang Raja Dangdut Rhoma Irama (yang ini raja dangdut, bukan raja yang lain) berjudul Bencana juga tak kurang sebagai sebuah sindiran. Lagu itu dirilis pada 1991:

Masih perlukah air mata
Untuk menangisi dunia
Yang selalu dilanda bencana
Macam-macam malapetaka

Gempa bumi banjir badai topan
Yang selalu membawa korban
Dan juga ganasnya peperangan
Yang menghantui kehidupan
Seakan-akan di dunia
Tiada lagi keamanan
Seakan-akan di dunia
Tiada lagi ketenteraman

Apakah ini akibat kesombongan manusia
Karena sudah merasa menundukkan semesta
Agama cuma di lisan tak lagi diamalkan
Keimanan pada Tuhan cuma berupa slogan'


Mereka, para pemilik karya seni lewat lirik itu, sudah lama menyeru agar manusia punya rasa hormat terhadap alam. Jauh saat hutan masih lebih dari separuh, ketika paru-paru bumi masih relatif kuat berfungsi. Kini, peringatan itu menjadi kenyataan. Masihkah tersedia ruang untuk mengobatinya?

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Anggi Tondi)