Banjir dan Longsor Asia Tewaskan Lebih dari 1.750 Orang, Aceh Paling Parah

Area terdampak banjir di Kolombo, Sri Lanka. (Chamila Karunarathne/EPA)

Banjir dan Longsor Asia Tewaskan Lebih dari 1.750 Orang, Aceh Paling Parah

Willy Haryono • 6 December 2025 18:27

Jakarta: Tim penyelamat dan relawan terus berjuang membantu jutaan warga yang terdampak banjir dan longsor di sejumlah wilayah Asia, sementara jumlah korban tewas akibat bencana alam dahsyat yang dipicu perubahan iklim itu telah meningkat menjadi lebih dari 1.750 orang di negara-negara yang paling parah terdampak: Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand.

Dikutip dari Al Jazeera, Sabtu, 6 Desember 2025, lebih dari 900 orang dilaporkan tewas dan 410 lainnya masih hilang di Pulau Sumatra, menurut data terbaru BNPB hari ini, khususnya di Provinsi Aceh, di mana lebih dari 800.000 orang juga harus mengungsi.

Di Sri Lanka, pemerintah mengonfirmasi 607 kematian, sementara 214 orang lainnya masih hilang dan dikhawatirkan meninggal, dalam apa yang disebut Presiden Anura Kumara Dissanayake sebagai bencana alam terbesar yang dihadapi negara itu. Banjir juga menyebabkan sedikitnya 276 kematian di Thailand, sementara dua orang tewas di Malaysia dan dua lainnya meninggal di Vietnam akibat hujan deras yang memicu belasan longsor, menurut media pemerintah setempat.

Di Sumatra, Indonesia, banyak penyintas masih berjuang memulihkan diri dari banjir bandang dan longsor yang melanda pekan lalu, sementara Badan Meteorologi memperingatkan Aceh berpotensi mengalami “hujan sangat deras” hingga Sabtu, dengan Sumatra Utara dan Sumatra Barat juga berada dalam kondisi berisiko.

Gubernur Aceh Muzakir Manaf mengatakan tim tanggap darurat masih mencari jenazah di kubangan lumpur setinggi pinggang. Namun, ia menegaskan bahwa ancaman paling serius kini adalah kelaparan, terutama di desa-desa terpencil yang sulit dijangkau.

“Banyak orang membutuhkan kebutuhan dasar. Banyak wilayah belum tersentuh di daerah-daerah terpencil Aceh,” ujarnya kepada wartawan.

“Warga bukan meninggal karena banjir, tetapi karena kelaparan. Itulah kenyataannya.”

Ia menambahkan bahwa seluruh desa telah tersapu bersih di wilayah berhutan lebat Aceh Tamiang. “Daerah Aceh Tamiang benar-benar hancur dari atas sampai bawah, hingga ke jalan dan hingga ke laut. Banyak desa dan kecamatan kini hanya tinggal nama,” katanya.

Di Sri Lanka, di mana lebih dari dua juta orang, atau hampir 10 persen populasi terdampak, pejabat memperingatkan hujan deras berlanjut pada Jumat dan meningkatkan risiko longsor baru. Pusat Penanggulangan Bencana Sri Lanka (DMC) menyebut lebih dari 71.000 rumah rusak, termasuk hampir 5.000 yang hancur akibat banjir dan longsor pekan lalu.

DMC juga mengatakan bahwa hujan diperkirakan masih akan turun di banyak bagian negara tersebut, termasuk wilayah tengah yang paling terdampak, sehingga dikhawatirkan menghambat upaya pembersihan dan pemulihan.

Perubahan Iklim dan Penebangan Hutan Jadi Faktor Pemicu

Banjir pekan lalu terjadi ketika dua topan dan satu siklon melanda kawasan secara bersamaan, memicu hujan deras yang—menurut para ahli kepada Al Jazeera—kian mungkin terjadi akibat perubahan iklim.

Penebangan hutan ilegal, yang sering dikaitkan dengan permintaan global akan minyak sawit, juga memperparah dampak bencana di Sumatra, di mana foto-foto di lapangan menunjukkan batang-batang kayu terseret arus.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kehilangan hutan tahunan terbesar akibat pertambangan, perkebunan, dan kebakaran, serta telah mengalami penyusutan hutan hujan tropis secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir.

Menteri Kehutanan Indonesia Raja Juli Antoni pada Jumat mengatakan bahwa pihaknya mencabut izin penebangan 20 perusahaan dengan luas konsesi mencapai 750.000 hektare, termasuk di wilayah terdampak banjir di Sumatra, menurut Antara.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq juga “segera” menghentikan aktivitas perusahaan kelapa sawit, pertambangan, dan pembangkit listrik yang beroperasi di hulu wilayah terdampak bencana di Sumatra Utara pada Sabtu, menurut laporan Antara. “DAS Batang Toru dan Garoga adalah kawasan strategis dengan fungsi ekologis dan sosial yang tidak boleh dikompromikan,” ujarnya.

Febi Dwirahmadi, koordinator program Indonesia pada Centre for Environment and Population Health di Griffith University, Australia, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa tutupan hutan berfungsi sebagai “spons” yang menyerap air ketika hujan deras.

Setelah deforestasi, yang juga memperburuk perubahan iklim, tidak ada lagi penahan alami untuk memperlambat aliran air menuju sungai, ujar Dwirahmadi.

Baca juga:  Alam Liar di Sumatra Rentan Timbulkan Bencana Alam

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)