RUU Masyarakat Hukum Adat Kemungkinan Besar 'Dilempar' ke DPR Periode Mendatang

Gedung DPR. Foto: MI/Bary Fathahillah.

RUU Masyarakat Hukum Adat Kemungkinan Besar 'Dilempar' ke DPR Periode Mendatang

Media Indonesia • 12 August 2024 23:33

Jakarta: Anggota Komisi VI DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah memprediksi sulit meloloskan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) pada periode ini. Pembahasan RUU ini kemungkinan besar dilempar ke DPR periode 2024-2029.

"Kalau tahun ini rasanya tidak mungkin disahkan karena (alasan) waktu. Kita dalam waktu yang sangat dekat ini kita masih punya beberapa rancangan undang-undang yang itu juga sudah dipesan oleh pemerintah misalnya ada RUU TNI dan Polri," jelas Luluk di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2024.

Luluk menyebut meski RUU MHA ini berpotensi carry over pada pemerintahan mendatang, namun pembahasannya tidak harus mengulang dari nol. Lulu juga menekankan masifnya pembangunan, seharusnya menjadi momentum secara politis bagi masyarakat adat agar bisa menyuarakan lebih keras.

"Kalau saya tidak salah juga masuk dalam daftar yang bisa dilanjutkan ke periode berikutnya tetapi tidak dari nol, jadi tinggal melanjutkan saja," kata dia.
 

Baca juga: Pimpinan DPR Diminta Jamin Penuntasan Pembahasan RUU PPRT Menjadi Undang-Undang

Ia mengatakan salah satu alasan RUU ini tak kunjung dibahas dan disahkan karena berpotensi menghambat Proyek Strategis Nasional (PSN). Salah satunya, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat adat.

"Dengan adanya undang-undang ini (dipandang) bisa menghambat PSN atau proyek strategis nasional yang kebetulan banyak bertabrakan dengan kepentingan masyarakat adat," beber dia.

Ia menyebut belum ada pembahasan awal dari pemerintah karena RUU ini inisiatif dari DPR. Menurut dia, proses pembangunan IKN seharusnya jadi momentum untuk menyelesaikan UU masyarakat adat.

Luluk menjelaskan desakan dari masyarakat sipil, khususnya koalisi masyarakat adat dalam memperjuangkan RUU ini belum maksimal. Sehingga, tak dilihat sebagai suatu yang bersifat urgen bagi negara.

Ia mengatakan biasanya ada tiga hal yang membuat RUU bisa cepat diproses. Pertama, karena ada tekanan publik yang sangat mendesak. Kedua, ada desakan dari pemerintah. 

"Jika pemerintah sudah mendesak biasanya RUU bisa selesai dalam hitungan hari, dan yang ketiga adalah karena dianggap sangat urgen sebagai sebuah kebutuhan bangsa," jelas dia.

Luluk menuturkan RUU MHA menjadi salah satu aturan yang sejalan dengan konvensi internasional terkait dengan perlindungan Indigenous people. Salah satunya, konvensi CEDAW yang telah ditandatangani Indonesia sejak 40 tahun lalu.

"Masyarakat adat ini fraksi-fraksi tidak bulat jadi ada beberapa yang masih keberatan walaupun keberatan itu saya tidak mengerti apa dasarnya, karena Indonesia ini memang Bhinneka Tunggal Ika artinya ada pengakuan terhadap entitas masyarakat adat itu sudah semestinya (ada)," ujarnya.

Namun, Luluk mengatakan Komisi IV menyiasati perlindungan masyarakat adat dengan memasukkannya dalam UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem (KSDHE) agar investasi yang hadir tidak mengganggu hak-hak masyarakat ada.

"Minimal ada yang terkait dengan perlindungan hak masyarakat adat, pengakuan yang terkait ke hutan adat dan berbagai ekosistemnya," ucap dia.

DPR disebut juga membuat pengaturan terkait investasi yang tidak diperkenankan memasuki wilayah adat, sepanjang tidak ada persetujuan dari pemangku adat. "Sementara ini bisa kita gunakan untuk bisa melindungi hak-hak masyarakat adat," tuturnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)