Ilustrasi. Foto: Medcom.id
M Ilham Ramadhan Avisena • 27 November 2024 14:02
Jakarta: Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2003-2008 Burhanuddin Abdullah menyebutkan telah mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menunda penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun depan. Dia bahkan mendorong Kepala Negara untuk mengembalikan tarif PPN ke angka 10 persen.
"Saya pernah menyarankan ke Pak Prabowo, supaya jangan dinaikan PPN itu, sudah lah 11 persen, atau kalau mungkin jadi 10 persen untuk memberikan break dulu kepada masyarakat, break dari kesulitan hidup ini. Katakan lah satu atau dua tahun, baru kita pikirkan kembali," ujar Burhanuddin saat menjadi pembicara pada diskusi panel bertajuk Menuju Indonesia Emas: Perspektif Partai Gerindra dalam Mewujudkan Visi Kebangsaan di NasDem Tower, Jakarta, Rabu, 27 November 2024.
Burhanuddin yang juga Ketua Dewan Pakar Partai Gerindra itu menilai penundaan penaikan tarif PPN relevan untuk mengatasi narasi yang berkembang di masyarakat saat ini perihal pajak. Sebab di tengah isu penambahan beban kepada masyarakat, bergulir pula rencana pengampunan pajak bagi orang-orang kaya melalui program pengampunan pajak.
"Narasi yang berkembang sekarang kan kelihatannya orang kecil dipalak negara dan orang kaya malah diberi tax amnesty. Orang kaya kalau dipajakin memang kabur dari sini. Orang kaya di Indonesia ini bukan main," tutur Burhanuddin.
Sejatinya pemerintah memiliki ruang untuk menunda penaikan tarif PPN kendati telah ditetapkan dalam Undang Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ruang penundaan diberikan melalui Pasal 7 ayat (3) UU HPP yang menyebutkan pemerintah bisa mengubah tarif PPN menjadi paling rendah lima persen dan paling tinggi 15 persen. Penundaan itu juga mesti dikonsultasikan lebih dulu dengan DPR.
Kabar baiknya, DPR membuka pintu persetujuan untuk menunda penaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Itu telah disampaikan berulang oleh wakil rakyat, utamanya dari Komisi XI yang menangani perihal ekonomi dan keuangan negara. Hanya, sejauh ini pemerintah sama sekali belum membuka pembicaraan penundaan tarif PPN tersebut ke parlemen.
Perlebar kesenjangan
Merujuk laporan Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, penaikan tarif PPN bakal menambah beban masyarakat. "Skenario ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan," tulis laporan LPEM tersebut.
Penerapan tarif PPN yang lebih tinggi juga bakal memberikan pengaruh langsung terhadap inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa akan mendorong peningkatan biaya hidup masyarakat secara keseluruhan.
Situasi itu akan amat terasa dan menantang bagi
rumah tangga berpenghasilan rendah yang berpotensi mengalami penurunan daya beli. Hal itu akan mendorong penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan.
Selain itu, efek distribusi dari kenaikan PPN dapat membebani rumah tangga berpenghasilan rendah secara tidak proporsional. Meski masyarakat berpenghasilan rendah membelanjakan sebagian kecil dari pendapatan mereka untuk barang dan jasa yang dikenai pajak, pengalaman terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan biaya hidup akan sangat membebani rumah tangga tersebut.
Laporan LPEM UI menunjukkan, kenaikan beban imbas tarif PPN yang tinggi paling dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah. Sebanyak 20 persen kelompok rumah tangga termiskin diperkirakan akan mengalami kenaikan beban sebesar 0,86 persen poin, sementara 20 persen kelompok rumah tangga terkaya mengalami kenaikan beban 0,71 persen poin.
Demikian pula, ketika membandingkan beban PPN selama tarif PPN saat ini sebesar 11 persen terhadap tarif 10 persen selama era covid-19 (2020-2021), beban PPN untuk 20 persen rumah tangga terkaya meningkat sebesar 0,55 persen poin, sementara itu meningkat sebesar 0,71 persen poin untuk 20 persen rumah tangga termiskin. Kenaikan beban paling berat dirasakan oleh rumah tangga yang berada pada persentil ke-20 hingga ke-22, di mana beban mereka meningkat sebesar 0,91 persen poin.
(Ilustrasi kenaikan PPN menjadi 12%. Foto: Medcom.id)
Dampak regresif dari kenaikan tarif PPN menjadi jelas ketika melihat beban PPN berdasarkan kelas pendapatan. Dibandingkan dengan periode sebelum covid-19 dengan tarif PPN 10 persen, tarif PPN saat ini sebesar 11 persen menghasilkan kenaikan yang lebih kecil untuk rumah tangga terkaya.
Secara khusus, beban PPN meningkat sebesar 0,84 persen poin untuk kelompok termiskin, 0,87 persen poin untuk kelompok rentan, dan 0,61 persen poin untuk kelompok menengah. Sebaliknya, kenaikan beban PPN hanya 0,62 persen poin untuk kelas atas.
Jika pemerintah tetap bersikukuh menaikan tarif PPN menjadi 12 persen, maka Indonesia akan berada di urutan puncak sebagai negara dengan pemberlakuan tarif PPN tertinggi di ASEAN bersama dengan Filipina. Pasalnya negara lain seperti Vietnam dan Kamboja memiliki tarif PPN 10 persen.
Lalu Singapura menerapkan tarif PPN sebesar sembilan persen. Diikuti oleh Thailand dan Laos dengan tarif PPN tujuh persen. Malaysia menggunakan tarif PPN sebesar enam persen. Kemudian tarif PPN Myanmar yang berlaku sebesar lima persen. Sementara Timor Leste memungut tarif PPN sebesar 2,5 persen.