Pengungsi dari Gaza. (EPA)
Riza Aslam Khaeron • 31 January 2025 11:47
Jakarta: Sejak gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada 19 Januari 2025, perdebatan mengenai masa depan warga Gaza semakin intens. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menegaskan bahwa Yordania dan Mesir akan menerima warga Gaza yang mengungsi akibat perang.
"Mereka akan melakukannya," ujar Trump dalam pernyataannya di Gedung Putih pada Kamis, 30 Januari 2025. "Kami banyak membantu mereka, dan mereka akan melakukannya." Dikutip dari AFP, Jumat, 31 Januari 2025.
Namun, Mesir dan Yordania dengan tegas menolak gagasan ini. Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi menyatakan bahwa "memindahkan rakyat Palestina dari tanah mereka adalah sebuah ketidakadilan yang tidak bisa kami dukung."
Sementara itu, Raja Yordania Abdullah II menegaskan bahwa "posisi Yordania tetap teguh pada perlunya warga Palestina tetap tinggal di tanah mereka."
Penolakan negara-negara Arab ini bukan tanpa alasan. Sejarah panjang pengungsian Palestina, dinamika politik regional, serta kekhawatiran akan stabilitas domestik menjadi faktor utama di balik keputusan ini.
Sejarah Pengungsian Palestina dan Ketakutan Akan Pengulangan Sejarah
Pengungsian warga Palestina telah terjadi sejak 1948, ketika sekitar 700.000 orang terpaksa meninggalkan tanah mereka akibat berdirinya negara Israel, sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Nakba atau "malapetaka." Pada tahun 1967, perang enam hari antara Israel dan negara-negara Arab kembali menyebabkan gelombang pengungsi baru, dengan 300.000 warga Palestina mengungsi, terutama ke Yordania.
Negara-negara Arab, terutama Mesir dan Yordania, khawatir bahwa menerima warga Gaza saat ini akan mengarah pada situasi permanen, seperti yang terjadi setelah 1948 dan 1967. Melansir
PBS, Israel, yang menolak hak kembali bagi para pengungsi Palestina, diyakini akan menggunakan kesempatan ini untuk menghapus identitas Palestina dan merusak prospek pembentukan negara Palestina yang merdeka.
Dampak Politik dan Stabilitas Keamanan
Mesir dan Yordania menghadapi tantangan internal yang signifikan. Mesir, yang telah berjuang menghadapi kelompok militan di Semenanjung Sinai, khawatir bahwa arus besar pengungsi dari Gaza dapat memperburuk situasi keamanan.
Presiden Sisi pada Oktober 2023 menyatakan bahwa "pemindahan warga Gaza ke Mesir bisa membawa kelompok militan ke Sinai, yang pada akhirnya dapat memicu ketegangan baru antara Mesir dan Israel."
Yordania, yang sudah memiliki populasi besar warga keturunan Palestina, memiliki sejarah panjang ketegangan politik terkait pengungsi Palestina. Salah satu momen paling kelam dalam sejarah Yordania adalah peristiwa Black September pada 1970, ketika bentrokan antara pasukan Yordania dan faksi-faksi Palestina yang tergabung dalam PLO menyebabkan ribuan korban jiwa. Saat itu, PLO yang dipimpin oleh Yasser Arafat mendirikan basis operasi di Yordania dan mulai menantang otoritas Raja Hussein.
Setelah beberapa kali upaya pembunuhan terhadap Raja Hussein, pemerintah Yordania akhirnya melancarkan operasi militer besar-besaran untuk mengusir kelompok tersebut. Konflik ini mengakibatkan ribuan warga Palestina tewas dan banyak yang terpaksa mengungsi ke Lebanon.
Sejak saat itu, Yordania sangat berhati-hati dalam menerima gelombang pengungsi Palestina baru karena khawatir akan potensi ketidakstabilan politik yang serupa.
Faktor Ekonomi dan Beban Pengungsi
Mesir dan Yordania telah menampung jutaan pengungsi dari berbagai konflik di kawasan Timur Tengah. Menurut laporan
PBS pada Oktober 2023, Mesir sudah menjadi rumah bagi sekitar 9 juta pengungsi dan migran dari berbagai negara, termasuk 300.000 dari Sudan. Yordania sendiri telah menampung lebih dari 2 juta pengungsi Palestina serta ratusan ribu pengungsi Suriah.
Krisis ekonomi yang sedang berlangsung di kedua negara juga menjadi faktor utama. Mesir sedang menghadapi tekanan inflasi tinggi dan utang luar negeri yang membengkak, sementara Yordania bergantung pada bantuan luar negeri untuk mempertahankan stabilitas ekonominya. Kedua negara khawatir bahwa gelombang pengungsi baru akan semakin membebani perekonomian mereka.
Kekhawatiran terhadap Rencana Israel
Melansir
PBS, banyak negara Arab melihat rencana pemindahan warga Gaza sebagai bagian dari upaya Israel untuk mengubah komposisi demografi di Palestina. Presiden Sisi menuduh bahwa pemindahan ini bertujuan untuk "menghilangkan masalah Palestina dari peta politik" dengan cara memaksa eksodus massal.
Para pemimpin Arab mencurigai bahwa Israel ingin menghindari tanggung jawabnya terhadap warga Palestina dan menggunakan pemindahan ini untuk memperkuat kontrolnya atas Gaza. Melansir
PBS, kecurigaan ini semakin diperkuat oleh meningkatnya retorika dari beberapa pejabat sayap kanan Israel yang menyarankan bahwa Gaza sebaiknya dikosongkan dari warga Palestina.
Melansir
Euro-Med Human Rights Monitor, tekanan dari pemerintahan Trump untuk memindahkan warga Gaza ke Mesir dan Yordania dianggap sebagai dukungan eksplisit terhadap kebijakan Israel, yang dinilai sebagai bentuk kejahatan genosida.
Organisasi ini menegaskan bahwa rencana pemindahan tersebut merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa Keempat dan hak warga Palestina untuk tetap berada di tanah mereka sendiri.
Penolakan negara-negara Arab untuk menerima pengungsi dari Gaza bukan hanya didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan, tetapi juga terkait dengan sejarah panjang pengungsian Palestina, dampak politik dan keamanan, serta tekanan ekonomi yang mereka hadapi.
Selain itu, banyak pemimpin Arab percaya bahwa menerima pengungsi Gaza akan berarti mengakui kemenangan Israel dalam mengubah realitas demografi dan politik di wilayah tersebut.
Meskipun ada tekanan dari AS, Mesir dan Yordania tetap teguh pada pendirian mereka bahwa warga Palestina harus tetap berada di tanah mereka sendiri. Dengan situasi yang masih berkembang, nasib pengungsi Gaza masih menjadi salah satu isu paling sensitif dalam politik Timur Tengah saat ini.