Indonesia Terkena Dampak Perang Dagang, Seberapa Parah?

Ilustrasi perekonomian jeblok. Foto: Freepik.

Indonesia Terkena Dampak Perang Dagang, Seberapa Parah?

M Ilham Ramadhan Avisena • 5 March 2025 19:35

Jakarta: Pemberlakuan tarif dagang tinggi oleh Amerika Serikat (AS) kepada Tiongkok, Meksiko, dan Kanada yang mulai berlaku pada 4 Maret 2025 menandai babak baru perang dagang.
 
Negeri Paman Sam menetapkan tarif atas barang-barang Tiongkok yang dinaikkan dari 10 persen menjadi 20 persen. AS juga memberlakukan tarif 25 persen untuk semua impor dari Meksiko dan Kanada, sementara produk energi dari Kanada dikenakan tarif 10 persen.
 
AS juga diketahui akan menerapkan tarif sebesar 25 persen terhadap impor dari Uni Eropa. Namun untuk tanggal efektifnya, belum dikonfirmasi.  
 
Negara lain telah merespons dengan tarif balasan yang juga berlaku pada 4 Maret 2025. Kanada membalas dengan tarif 25 persen terhadap barang impor dari AS senilai USD30 miliar, sebagai bagian dari rencana yang lebih luas untuk mengenakan tarif pada total barang senilai USD155 miliar.
 
Lalu Tiongkok akan menerapkan tambahan tarif 15 persen terhadap produk pertanian AS, serta bea tambahan 10 persen pada produk pertanian dan susu lainnya yang mulai berlaku pada 10 Maret 2025.
 
Sementara Meksiko akan mengumumkan rincian tarif balasan terhadap barang-barang AS, termasuk besaran tarif dan produk yang menjadi sasaran pada 9 Maret 2025.
 

Baca juga: Alasan Trump Terapkan Tarif Impor terhadap Beberapa Negara


(Ilustrasi ekonomi Indonesia. Foto: dok MI)
 

Rupiah melemah, IHSG boncos

 
Perang dagang itu juga berdampak pada negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan dampak itu akan amat terasa di pasar keuangan.
 
"Seiring investor beralih ke aset safe haven seperti USD (dolar AS), volatilitas meningkat tajam. Rupiah melemah 1,5 persen (ytd), sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 7,7 persen (ytd), dengan arus keluar investor asing mencapai Rp21,4 triliun," jelas Asmoro melalui keterangan tertulis, Rabu, 5 Maret 2025.
 
Namun di saat yang sama, Indonesia berpotensi mendapat manfaat dari pergeseran perdagangan antarnegara. Pada 2024, ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh produk elektronik, pakaian, dan alas kaki, dengan total nilai USD42,5 miliar.
 
"Ini membuka peluang untuk meningkatkan ekspor produk-produk tersebut lebih lanjut," tutur Asmoro.
 
Kendati begitu, dukungan dari pemerintah juga tetap diperlukan, utamanya untuk meredam dampak tarif AS. Indonesia dinilai perlu menerapkan kebijakan diversifikasi pasar dengan memperluas perdagangan ke negara lain.
 
Pemerintah, kata Asmoro, juga dapat memberikan insentif pajak dan subsidi, serta menjaga stabilitas nilai tukar melalui kebijakan moneter yang adaptif.
 
"Peningkatan hilirisasi industri juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan meningkatkan daya saing produk Indonesia," terang dia.
 
Selain itu, dalam pertemuan bilateral dengan AS, pemerintah dapat menegosiasikan pengecualian tarif untuk produk ekspor utama Indonesia dan memperbarui program Generalized System of Preferences (GSP) agar tetap mendapatkan akses preferensial ke pasar AS.
 
"Dengan pendekatan terintegrasi yang mencakup kebijakan perdagangan, stabilitas ekonomi, dan diplomasi strategis, Indonesia dapat memanfaatkan peluang dari perang dagang ini dan mempertahankan pertumbuhan ekonominya," papar Asmoro.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)