Soekarno membacakan teks Proklamasi, 17 Agustus 1945. DOK Arsip Nasional
Jakarta: Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, publik kembali menengok momen bersejarah yang mengubah nasib bangsa:
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dibacakan oleh Soekarno pada Jumat pagi, 17 Agustus 1945, momen ini ternyata tidak dipilih secara kebetulan. Ada alasan khusus yang membuat tanggal tersebut menjadi pilihan, baik secara rasional maupun spiritual.Berikut penjelasannya:
Perdebatan dengan Pemuda dan Alasan 17 Agustus Dipilih
Melansir catatan sejarah dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, pada malam tanggal 15 Agustus 1945, situasi politik di Indonesia mengalami eskalasi signifikan menyusul berita kekalahan Jepang dari Sekutu pada hari sebelumnya.
Informasi mengenai kekalahan tersebut segera menyebar di kalangan elite dan aktivis kemerdekaan, mendorong sejumlah tokoh muda seperti Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh untuk menuntut dilaksanakannya
proklamasi kemerdekaan tanpa penundaan.
Para pemuda tersebut mendatangi kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Mereka meyakini bahwa kekalahan Jepang menciptakan kekosongan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak, tanpa konsultasi dengan pihak Jepang.
Dalam suasana penuh ketegangan tersebut, terjadi perdebatan sengit antara kelompok pemuda dan tokoh-tokoh pergerakan senior. Wikana menuntut agar Soekarno-Hatta melakukan
proklamasi pada hari itu juga dan mengancam jika tidak dilakukan, akan ada pertumpahan darah besar-besaran.
Soekarno dengan tegas menolak desakan tersebut dan bahkan menantang para pemuda untuk menebas lehernya saat itu juga. Soekarno-Hatta berdalih bahwa saat Itu Indonesia belum mampu menandingi militer Jepang dan Belanda bila deklarasikan dilakukan di saat itu dan takutnya bila dipaksakan malah akan ada banyak pertumpahan darah.
Ketidaksepakatan ini mendorong para pemuda untuk menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, pada pukul 04.00 dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Langkah ini diambil agar kedua tokoh tersebut tidak berada di bawah pengaruh militer Jepang dan agar mereka lebih terbuka terhadap gagasan
proklamasi segera.
Di Rengasdengklok, diskusi dilanjutkan dalam suasana yang tetap penuh ketegangan, Soekarno kemudian mengatakan kepada para pemuda bahwa deklarasi akan dia lakukan tanggal 17 Agustus. Ketika Sukarni mempertanyakan alasan mengapa tidak dilakukan tanggal 16 Agustus, Soekarno mengemukakan pandangan yang bernuansa mistik:
"
Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Quran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia."
Bagi Soekarno, angka 17 adalah angka yang penuh makna dan kesucian, yang dianggap memperkuat legitimasi spiritual dari kemerdekaan Indonesia.
Setelah negosiasi dilakukan antara Ahmad Soebardjo dengan kelompok pemuda, dicapai kesepakatan bahwa
Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum pukul 12.00 siang. Keputusan ini menjadi titik temu antara desakan revolusioner kaum muda dan pendekatan gradualis yang diusung oleh para pemimpin nasionalis senior.
Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta pada malam hari tanggal 16 Agustus, dan menyusun naskah
proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Proklamasi akhirnya dibacakan pukul 10.00 WIB, Jumat, 17 Agustus 1945, di rumah kediaman Soekarno, Pegangsaan Timur No. 56. Meski sedang sakit, Soekarno tetap bangkit demi menyampaikan momen paling penting dalam sejarah bangsa.
Tanggal 17 Agustus 1945 bukan sekadar pilihan acak, tetapi hasil perenungan mendalam, perdebatan tajam, dan pertimbangan spiritual serta strategis. Pilihan ini memperlihatkan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil perjuangan fisik, tetapi juga keputusan penuh makna yang melibatkan keyakinan dan simbolisme kebangsaan.
Momentum ini tidak hanya mencerminkan keberanian politik, tetapi juga kecermatan dalam membaca situasi dan memanfaatkan simbol-simbol yang menguatkan semangat kemerdekaan rakyat Indonesia. Hari itu pun kini dikenang setiap tahun sebagai simbol perjuangan, persatuan, dan kebangkitan bangsa Indonesia