Ilustrasi. Foto: Freepik.
Ferdinand • 3 August 2025 14:23
Jakarta: Dalam waktu hanya enam bulan sejak kembali menjabat, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengguncang sistem perdagangan global dan meamutar balik kebijakan yang telah bertahan lebih dari seabad.
Pada Kamis lalu, Trump kembali mengumumkan tarif impor yang lebih tinggi untuk hampir semua negara di dunia. Meski beberapa negara menerima tarif yang lebih ringan dari perkiraan, hampir seluruh produk impor ke AS kini dikenakan bea masuk yang jauh lebih tinggi dibandingkan ketika Trump mulai menjabat pada Januari.
Kebijakan ini menandai pemberlakuan tarif tertinggi oleh AS sejak Undang-Undang Smoot-Hawley pada 1933, yang kala itu turut memperparah krisis ekonomi global di era 'Depresi Besar'.
Tarif baru ini berpotensi menekan kembali pertumbuhan ekonomi dunia. Di dalam negeri, dampaknya memang masih relatif ringan, namun sejumlah tanda mulai terlihat, inflasi perlahan meningkat dan aktivitas ekonomi AS mulai melambat.
Para ekonom mengingatkan, alasan banyak pemimpin dunia selama puluhan tahun menurunkan tarif adalah untuk memperkuat ekonomi berbasis jasa, teknologi, dan keuangan, meski berdampak pada relokasi industri dan lapangan kerja ke luar negeri.
Sebelumnya, tarif rata-rata barang impor ke AS hanya sekitar 1,2 persen pada tahun lalu. Namun, menurut Laboratorium Anggaran Yale, tarif ini diprediksi melonjak hingga lebih dari 18 persen saat kebijakan baru mulai berlaku pada 7 Agustus.
Beban tarif ini kemungkinan besar akan ditanggung konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih mahal, meski sebagian juga dibebankan pada eksportir, importir, dan pengecer.
Sejumlah perusahaan besar telah mengumumkan lonjakan biaya akibat kebijakan ini. Apple, misalnya, menyatakan telah membayar tarif sebesar USD800 juta pada kuartal lalu dan memperkirakan jumlah itu meningkat menjadi USD1,1 miliar pada kuartal berikutnya.
Produsen otomotif seperti GM, Stellantis, dan Volkswagen juga mengalami lonjakan biaya serupa. Sementara itu, ritel besar seperti Walmart dan Target menyatakan tidak dapat menyerap seluruh beban tarif dan harus menaikkan harga bagi konsumen.
Meskipun tarif ini kurang populer dalam berbagai survei dan ditentang oleh pelaku usaha, Gedung Putih tetap yakin dengan pendekatan agresif tersebut.
Baca juga: Tarif Trump Mulai Berlaku, 5 Sektor Industri Ini Meski Digenjot |