Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.
KOMUNITAS media ramai-ramai menyerukan gerakan no tax for knowledge, akhir-akhir ini. Setelah dimulai Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bulan lalu, gaung gerakan penghapusan pajak untuk industri 'produsen pengetahuan' itu kian kencang ditiup akhir pekan lalu.
Sang peniup peluit tambahan ialah Forum Pemimpin Redaksi (Pemred). Paguyuban para pemimpin media itu mendorong pemerintah untuk memberikan insentif pajak bagi perusahaan media. Dorongan itu disampaikan melalui Ketua Forum Pemred Retno Pinasti kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa saat sang menteri mengikuti ajang lari bertajuk Run for Good Journalism 2025 di Jakarta, Minggu (16/11).
Ibarat permainan sepak bola, AMSI dan PWI memulai tendangan sepak mula (kick off). Lalu, Forum Pemred menggiring, menggocek, serta menendangnya menuju gawang. Tendangan Forum Pemred itu termasuk kategori shot on target atau tembakan tepat sasaran. Mengapa tepat sasaran? Karena gerakan itu disampaikan langsung kepada Menkeu Purbaya, orang paling berwenang menentukan kebijakan perpajakan.
Itu berarti, sepakan yang disengaja untuk mencetak gol ke arah gawang itu tergolong 'nyaris menjadi gol'. Bola kini ada di tangan Purbaya. Bola itu sedang dipeluk, ditangkap, ditimang-timang. Purbaya berjanji mempelajarinya. Itu sebetulnya bukan jawaban baru dari menkeu. Pernyataan serupa pernah dikemukakan Menkeu Sri Mulyani pada 2020, saat menerima desakan serupa.
Kata Sri Mulyani, ketika itu, "Saya akan pelajari usulan itu." Hanya, perbedaannya, ketika itu gerakan
no tax for knowledge baru disuarakan orang per orang. Tidak tersistematisasi seperti akhir-akhir ini. Mungkin saat itu problem industri media belum sedahsyat sekarang kendati 'hilal'-nya sudah mulai kelihatan.
Karena itu, apa yang disampaikan Ketua Forum Pemred Retno Pinasti bahwa
no tax for knowledge berupa relaksasi pajak bagi industri media bisa menjadikan institusi jurnalistik terus terjaga (
sustain) sehingga terus memberikan informasi yang berkualitas, bakal jadi energi baru. Selain mewakili lembaga, yang juga didukung AMSI dan PWI, dorongan itu menjadi jawaban atas tantangan Purbaya agar media massa tetap menjaga sikap kritis.
Kritik media, kata menteri yang tengah naik daun itu, sangat dibutuhkan pemerintah untuk memberikan koreksi atas kebijakan yang tidak pas. Persoalannya, bagaimana media sanggup
full power bersikap kritis jika 'nyawanya' terancam akibat disrupsi besar-besaran yang tengah melanda industri 'penopang' penting demokrasi itu? Begitulah kira-kira jawaban atas tantangan Purbaya.
Karena itulah, jurnalisme berkualitas, yang direpresentasikan konten dari institusi jurnalistik terverifikasi Dewan Pers, mesti diselamatkan. Caranya, salah satunya dengan memberikan 'ruang hidup' berupa keringanan pajak, bahkan penghapusan pajak. Apakah itu cukup? Jawabannya: setidaknya akan sangat meringankan media.
Mereka, industri media yang didorong untuk menegakkan pilar demokrasi itu, tak lagi dipusingkan dengan menanggung pajak penghasilan karyawan, pajak pertambahan nilai, pajak kertas, bahkan pajak penghasilan badan (perusahaan). Pajak-pajak tersebut, bila seruan
no tax for knowledge dikabulkan, bisa memangkas 30% hingga 40% biaya industri media. Lumayan banget, bukan?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Dok. Kemenkeu.
Konsep
no tax for knowledge atau 'bebas pajak untuk pengetahuan' memiliki sejarah yang berakar dari perjuangan panjang untuk kebebasan pers dan penyebaran informasi, terutama di Inggris, pada abad ke-19. Istilah itu awalnya merujuk pada serangkaian pajak yang diberlakukan pemerintah Inggris pada abad ke-18 terhadap materi cetak, seperti surat kabar, buku, iklan, serta bea masuk atas kertas.
Tujuan utama pajak tersebut ialah membatasi akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan, yang pada gilirannya akan menekan perbedaan pendapat dan membatasi penyebaran ide-ide radikal. Pajak itu membuat harga publikasi menjadi mahal sehingga membatasi pembacanya pada kalangan tertentu.
Atas hal tersebut, muncul gerakan sosial dan politik yang kuat untuk menghapuskan
taxes on knowledge itu. Para aktivis, jurnalis, dan politikus berpendapat bahwa pajak tersebut menghambat pendidikan, menghalangi kemajuan sosial, dan melanggar prinsip kebebasan pers. Perjuangan tersebut terdokumentasi dengan baik, salah satunya dalam buku
History of the Taxes on Knowledge: Their Origin and Repeal karya Collet Dobson Collet.
Dalam buku yang terdiri dari dua volume itu, sejumlah gugatan atas pengenaaan pajak pada media dan produsen pengetahuan diabadikan secara lengkap. Di dalamnya termaktub alasan pengenaan pajak atas buku-buku dan surat kabar, sekaligus desakan para aktivis agar pajak untuk pengetahuan itu dihapus.
Di buku itu ditulis, 'pamflet-pamflet dan kertas-kertas cetak yang memuat pengamatan-pengamatan terhadap kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa umum, yang mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah dan konstitusi negara sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang, dan juga mencemarkan nama baik agama kita yang suci, mesti dikenai cukai (pajak)'.
Buku yang diterbitkan pada akhir abad ke-18 itu pun memuat desakan agar pajak-pajak itu dihapus. Di buku tersebut ditulis: 'Dewan ini berpendapat bahwa pemeliharaan cukai di atas kertas sebagai sumber pendapatan permanen tidaklah bijaksana. Bahwa pengaturan keuangan semacam itu harus dibuat sedemikian rupa sehingga Parlemen dapat menghapuskan pajak tersebut'.
Setelah perjuangan puluhan tahun, pajak-pajak itu akhirnya dicabut secara bertahap, dengan pencabutan bea atas kertas pada 1861 menandai berakhirnya beban fiskal yang menghambat pers sejak awal abad ke-18. Prinsip bahwa materi yang berhubungan dengan pengetahuan dan pendidikan tidak boleh dikenai pajak pun menguat sejak saat itu di banyak negara.
Kini, gerakan itu pantas digemakan media di Indonesia. Apalagi, industri media, termasuk media digital, dalam lima tahun terakhir menghadapi tantangan bisnis yang menyebabkan efisiensi. Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Dewan Pers mencatat lebih dari 1.200 pekerja media terkena PHK dalam periode 2023 hingga awal 2025. Sejumlah media dengan awak yang besar juga kian agresif melakukan perampingan operasional yang signifikan.
Kita berharap, kiranya Pak Purbaya tidak berlama-lama mempelajari desakan itu. Membiarkannya menjadi gol ialah langkah paling bijaksana. Semoga.