Ilustrasi. Foto: Dok istimewa
Insi Nantika Jelita • 7 October 2025 12:51
Jakarta: Pemerintah akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 gigawatt (GW). Pemerintah tengah menyiapkan langkah besar untuk mempercepat pembangunan pembangkit energi terbarukan itu. Solar panel di tingkat desa akan dibangun dengan kapasitas sekitar 1 hingga 1,5 megawatt (MW), disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan wilayah masing-masing.
"Ke depan, target pengembangan PLTS nasional akan mencapai 80 hingga 100 GW," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi dikutip Selasa, 7 Oktober 2025.
Target tersebut, lanjutnya, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang hanya 17 GW.
Menurut Eniya, dengan target yang ambisius itu, upaya tersebut diharapkan tidak hanya berfokus pada peningkatan kapasitas energi, tetapi juga pada penciptaan permintaan (demand creation) yang dapat menggerakkan industri energi surya di dalam negeri.
Dengan meningkatnya kebutuhan panel surya dan baterai, industri PLTS nasional akan kembali bergeliat sekaligus membuka banyak lapangan kerja baru.
(Ilustrasi PLTS Atap. Foto: Dok Kementerian ESDM)
Dirjen EBTKE menjelaskan, salah satu contoh penerapan energi surya yang dinilai berhasil adalah penggunaan fotovoltaik pada cold storage atau gudang penyimpanan untuk nelayan. Teknologi ini membantu nelayan menjaga hasil tangkapan agar tetap segar dan dapat dijual ke wilayah lain.
Bahkan, beberapa nelayan sudah mulai menggunakan panel surya di atap kapal mereka. Energi yang tersimpan dalam baterai digunakan untuk penerangan saat melaut pada dini hari, sehingga mereka tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bahan bakar diesel.
"Ke depan, pemerintah ingin memperluas penggunaan fotovoltaik tidak hanya di atap bangunan (rooftop). Tetapi, juga di area ground mounted terutama di sekitar koperasi desa, fasilitas kesehatan seperti puskesmas serta akselerasi kendaraan listrik," kata Eniya.
Komitmen transisi
Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menegaskan transisi energi tidak akan terjadi secara otomatis. Proses ini membutuhkan komitmen politik yang kuat untuk mendukung proyek agar layak secara finansial (bankable), dan menggaet investasi yang besar
Ia menekankan, krisis iklim bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan kenyataan yang sudah terjadi saat ini. Transisi energi, lanjut Fabby perlu dilakukan bukan karena kita kehabisan bahan bakar fosil, melainkan karena bumi sudah tidak mampu lagi menanggung dampak krisis iklim.
“Kita semua tahu mengapa perubahan ini mendesak. Krisis iklim bukan lagi ancaman di depan mata, tetapi sudah nyata dan dapat kita rasakan dampaknya," ucap dia.
Atas dasar kesadaran tersebut, Fabby mengatakan lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia telah berkomitmen melalui Perjanjian Paris tahun 2015 untuk menjaga kenaikan temperatur global tetap di bawah dua derajat celsius.