Gedung BPKP di Jakarta. FOTO: MI/Agung Wibowo
M Rodhi Aulia • 12 February 2025 13:06
Jakarta: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan membatasi jumlah audit yang dilakukan pada 2025 akibat pemangkasan anggaran sebesar Rp 471,49 miliar. Dengan anggaran yang berkurang signifikan, BPKP tidak bisa mengakomodasi semua permintaan audit dan akan fokus hanya pada program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
Plt Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengakui bahwa keterbatasan anggaran akan berdampak langsung pada jumlah sampel dan objek audit yang bisa dilakukan.
"Tentu ada keterbatasan karena banyak sekali datang ke kami permintaan-permintaan, permohonan-permohonan untuk kami melakukan pengawasan, evaluasi segala macam. Itu kita akan batasi kepada hal-hal yang strategis yang sesuai dengan program-program utama bapak presiden," ujar Ateh dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu, 12 Februari 2025.
Pemangkasan anggaran ini membuat banyak pihak khawatir terhadap kualitas pengawasan keuangan negara. Namun, Ateh menegaskan bahwa meskipun jumlah audit akan berkurang, BPKP tetap menjaga kualitas pengawasannya.
"Intinya kualitas insya Allah tidak akan turun, tapi yang berubah adalah kuantitas objeknya. Kita fokuskan kepada program-program penting. Semua program strategis presiden kami jamin kami kawal," tegasnya.
Baca juga: Efisiensi Anggaran Prabowo: Ujian bagi Menteri dan Reformasi Belanja Negara
Pemangkasan anggaran ini merupakan bagian dari kebijakan efisiensi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diinstruksikan Presiden Prabowo Subianto. Berikut rincian pengurangan anggaran BPKP:
Dengan kondisi ini, BPKP tidak dapat mengakomodasi seluruh permintaan audit yang masuk. Pengawasan akan difokuskan pada proyek-proyek strategis pemerintah.
Keputusan ini mendapat persetujuan dari Komisi XI DPR RI yang menyatakan efisiensi belanja BPKP sebesar Rp 471,49 miliar bertujuan untuk memperbaiki tata kelola serta mengoptimalkan hasil kerja tanpa mengurangi efektivitas pengawasan keuangan negara.
Namun, dengan banyaknya permintaan audit yang ditolak, muncul kekhawatiran bahwa pengawasan terhadap berbagai sektor di luar program prioritas bisa melemah, membuka celah bagi potensi penyimpangan dalam pengelolaan anggaran negara.