Direktur Intelijen AS Tulsi Gabbard. (EPA)
Washington: Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat (DNI) Tulsi Gabbard menyatakan bahwa intelijen AS saat ini menilai Iran berada pada posisi yang memungkinkan untuk memproduksi senjata nuklir “dalam hitungan minggu hingga bulan.”
Mengutip dari BBC, Sabtu, 21 Juni 2025, pernyataan ini muncul tak lama setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Gabbard telah “salah” menilai sudah seberapa jauh program nuklir Iran.
Dalam kesaksian resminya di bulan Maret, Gabbard—yang dilantik sebagai DNI pada 12 Februari 2025—menyampaikan bahwa Iran memang memiliki cadangan uranium yang besar, namun belum ada indikasi Teheran sedang membangun senjata nuklir.
Kala itu, ia juga menegaskan bahwa program senjata nuklir Iran yang sempat dihentikan pada 2003 belum diaktifkan kembali.
Namun pernyataan tersebut langsung dikritik Trump, yang mengatakan bahwa Gabbard salah, dan bahwa intelijen justru menunjukkan Iran memiliki “jumlah bahan luar biasa besar” serta bisa membangun senjata nuklir dalam waktu sangat singkat.
Trump bahkan mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan apa yang Gabbard katakan di Kongres AS, karena menurutnya Iran sudah sangat dekat dengan kemampuan senjata nuklir.
Beberapa hari setelah kritik Trump, Gabbard mengunggah klarifikasi di media sosial. Ia mengatakan bahwa kesaksiannya sebelumnya telah dipelintir oleh beberapa media yang “tidak jujur.”
Program Pengayaan Uranium Iran
Dalam pernyataan terbarunya, Gabbard menyatakan bahwa data intelijen yang dia pimpin memang menunjukkan Iran bisa saja menyelesaikan pembuatan senjata nuklir dalam hitungan minggu hingga bulan. Ia menambahkan bahwa Trump telah menyatakan hal itu tidak boleh terjadi, dan ia setuju sepenuhnya.
Gabbard juga mengunggah ulang video lengkap kesaksiannya di Kongres, di mana ia menjelaskan bahwa meski Iran belum kembali menjalankan program senjata nuklir, stok uranium yang mereka miliki telah mencapai tingkat yang sangat tinggi—belum pernah terjadi sebelumnya untuk negara yang tidak memiliki senjata nuklir.
Sementara itu, tekanan terhadap Iran terus meningkat. Presiden Trump memberi batas waktu maksimal dua minggu bagi Teheran untuk mencapai kesepakatan nuklir dengan Washington. Ia juga menyatakan akan segera mengambil keputusan apakah AS akan bergabung dalam serangan udara Israel terhadap Iran.
Konflik militer antara Israel dan Iran meletus sejak 13 Juni, dan kini telah menewaskan ratusan orang di kedua belah pihak.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyatakan bahwa negaranya siap untuk mencari solusi melalui negosiasi terkait program nuklir mereka, namun tidak bisa melakukan pembicaraan dengan AS di tengah situasi di mana rakyat Iran sedang dibombardir.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) juga menyampaikan keprihatinan atas jumlah uranium yang telah diperkaya oleh Iran. Walau secara teknis bahan tersebut bisa digunakan untuk bahan bakar reaktor, level pengayaannya juga cukup untuk pengembangan senjata, tergantung pada niat dan langkah teknis selanjutnya dari pemerintah Iran.
Baca juga:
Badan Atom PBB Sebut Tak Ada Bukti Iran Kembangkan Senjata Nuklir