Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: MI/Adam Dwi.
Siti Yona Hukmana • 1 August 2023 23:40
Jakarta: Bareskrim Polri menetapkan pemimpin Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi bukti penguat penyidik menaikkan status hukum Panji Gumilang.
"Fatwa MUI kita jadikan alat bukti surat yang berisi petunjuk," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro saat dikonfirmasi, Selasa, 1 Agustus 2023.
Fatwa MUI itu diterima penyidik pekan lalu. Penyidik telah menganalisa fatwa itu dengan cara menjadikan bahan pemeriksaan ahli. Namun, isi Fatwa MUI tidak diungkap karena masih konsumsi penyidik.
Selain surat Fatwa MUI, Djuhandhani menyebut pihaknya juga mengantongi tiga alat bukti. Walau tak dibeberkan apa saja alat bukti tersebut. Namun, sebelumnya ada barang bukti berupa tangkapan layar video dugaan perbuatan penistaan agama Panji yang diuji di Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri.
"Jadi untuk menetapkan tersangka setidaknya penyidik sudah mengumpulkan tiga alat bukti tambah satu surat," ungkap Djuhandhani.
Total, penyidik telah memeriksa 57 saksi. Terdiri dari 40 orang saksi dan 17 ahli. Djuhandhani tak membeberkan siapa saja saksi tersebut. Namun, saksi ahli itu ada ahli pidana, bahasa, sosiologi, agama, termasuk ahli fiqih, dan lainnya. Panji juga sudah diminta keterangan sebagai saksi terlapor.
Panji Gumilang dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait kasus penistaan agama. Panji menjalani pemeriksaan sebagai saksi dua kali. Pertama saat proses penyelidikan pada Senin, 3 Juli 2023 dan kedua saat proses penyidikan pada Selasa, 1 Agustus 2023.
Panji Gumilang tiba di Gedung Bareskrim Polri untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi tadi siang pukul 13.15 WIB. Kemudian, penyidik melakukan pengecekan kesehatan dan pemeriksaan dimulai pukul 15.00-19.30 WIB.
Usai pemeriksaan, penyidik melakukan gelar perkara dan memutuskan menetapkan Panji Gumilang tersangka penistaan agama.
Panji dijerat tiga Pasal. Pertama, Pasal 156 A KUHP tentang Penistaan Agama, dengan ancaman lima tahun penjara. Kedua, Pasal 45A ayat (2) Jo 28 ayat 2 Indang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Beleid itu berbunyi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Ketiga, Pasal 14 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur terkait berita bohong. Beleid itu menyebutkan barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.