Penyusunan sistem penjaminan mutu pendidikan nonformal pesantren di Tangerang Selatan. Foto: Dok Majelis Masyayikh
Tangerang Selatan: Ketua Majelis Masyayikh Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin) mengatakan tantangan besar pendidikan nonformal pesantren adalah keragaman antarpesantren. Mulai variasi, standar masing-masing pesantren, hingga jenjangnya memiliki perbedaan masing-magin.
"Tantangan terbesar kita adalah adanya disparitas, variasi, dan standar masing-masing pesantren yang sangat berbeda-beda dengan dua kategori yang juga berbeda; pesantren berjenjang dan tidak berjenjang," ujar Gus Rozin melalui keterangan tertulis, Minggu, 18 Mei 2025.
Ia mengatakan penyusunan sistem penjaminan mutu internal dan eksternal menjadi langkah penting untuk menjawab tantangan tersebut. Gus Rozin menegaskan sistem penjaminan mutu ini harus berpijak pada nilai-nilai dasar pesantren, terutama akhlak dan akidah.
"Bagaimana kemudian nanti sistem penjaminan mutu ini dilaksanakan, asesmen, hingga level akhir administrasi yakni ijazah/syahadah," tegasnya.
Gus Rozin juga menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas guru dalam memahami kitab kuning secara metodologis agar santri dapat berkembang secara kritis. Kitab kuning merupakan teks yang hidup, perlu dikembangkan dan dikaji secara metodologis.
"Agar penjaminan mutu ini membuka kesadaran dan pola pikir tidak hanya kepada para santri lebih-lebih kepada para gurunya," ungkap Gus Rozin.
Anggota Majelis Masyayikh Divisi Pendidikan Dasar dan Menengah Badriyah Fayumi menambahkan pendidikan nonformal adalah bentuk pendidikan pesantren paling otentik secara historis dan populasi terbanyak dari pesantren. Keberadaannya harus diakui oleh negara, karena ini perintah undang-undang.
"Majelis Masyayikh berkomitmen rekognisi dan afirmasi yang dilakukan akan menjangkau semua tipologi, kategori, dan semua santri. Sehingga tidak ada satupun santri di Indonesia yang belajar secara serius tetapi tidak mendapatkan pengakuan negara," jelas Nyai Badriyah.
Ia juga menyoroti tantangan data sebagai dasar penyusunan kebijakan ke depan. Saat ini, kata dia, terdapat sekitar 42 ribu pesantren, namun data pendidikan nonformal pesantren belum sepenuhnya lengkap.
Kepala Sekretariat Majelis Masyayikh Basnang Said mengatakan Kementerian Agama akan terus mendukung kebijakan pesantren. Santri pondok
pesantren berhak mendapatkan ijazah sebagai pengakuan negara atas pembelajaran yang sudah ditempuh berjam-jam, bertahun tahun di pesantren.
"Santri yang mengikuti pendidikan formal dengan belajar mulai pagi sampai siang lulus mendapatkan ijazah, artinya diakui negara. Namun, ketika santri kembali ke asrama pesantren untuk belajar dari sore sampai malam dengan metode yang berbeda, kitab yang berbeda, guru yang berbeda, lulus dari pesantren tidak mendapat ijazah," tutur Basnang.
Penyusunan dokumen sistem penjaminan mutu pesantren
Pendidikan pesantren memiliki karakteristik unik yang menjadikannya sebagai satu model tersendiri dalam sistem pendidikan nasional. Sebab, memiliki pendekatan, pola, dan standar takaran yang berbeda.
Penyusunan dokumen sistem penjaminan mutu internal dan eksternal (SPMI-SPME) untuk pendidikan nonformal pesantren ini dinilai sebagai langkah strategis Majelis Masyayikh dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Dokumen ini dirancang sebagai kerangka sistematis untuk peningkatan mutu pendidikan nonformal pesantren dengan tetap menjaga kekhasan dan kemandirian pesantren di Indonesia.
Penyusunan dokumen ini juga diharapkan dapat menjadi instrumen rekognisi dan afirmasi pendidikan nonformal pesantren (pengkajian kitab kuning dan terintegrasi dengan pendidikan umum) agar santri dan pendidiknya mendapatkan keadilan hak sebagaimana pendidikan umum.
Penyusunan dokumen ini diawali dengan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Desain Penulisan SPMI-SPME yang digelar pada 15–17 Mei 2025 di Tangerang Selatan. FGD ini melibatkan para praktisi pendidikan pesantren, akademisi, pengamat, serta perwakilan pemerintah yakni Kementerian Agama.