Oeang Republik Indonesia. (Dok. Kementerian Keuangan RI)
Riza Aslam Khaeron • 6 August 2025 16:01
Jakarta: Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, penting untuk mengenang tonggak-tonggak sejarah yang menjadi pondasi kedaulatan bangsa. Salah satu aspek krusial dalam berdirinya Republik adalah lahirnya alat pembayaran sah yang mencerminkan identitas negara: Oeang Republik Indonesia atau ORI.
Di tengah situasi pascakemerdekaan yang genting dan belum stabil, ORI menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi kekuatan asing sekaligus pernyataan tegas tentang eksistensi negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Berikut penjelasannya.
Latar Belakang Diterbitkannya ORI
Ilustrasi uang De Javasche Bank. (Koleksi Museum Bank Indonesia)
Melansir visual Kementerian Keuangan (Kemenkeu), setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa ini menghadapi tantangan besar dalam bidang moneter. Tiga jenis mata uang peninggalan kolonial masih beredar secara bersamaan, yaitu uang De Javasche Bank (DJB),
uang Hindia Belanda, dan uang Jepang.
Ketiganya tidak mencerminkan identitas negara baru yang merdeka. Untuk memperkuat kedaulatan dan stabilitas ekonomi, pemerintah Indonesia mulai menyusun langkah strategis guna menciptakan mata uang nasional.
Pada 29 September 1945, Menteri Keuangan A.A. Maramis mengeluarkan dekrit yang secara resmi menolak kewenangan pejabat Jepang dalam mengatur pengeluaran negara. Langkah ini menandai awal upaya pemerintah membentuk sistem keuangan mandiri. Dekrit tersebut juga menunjuk Pembantu Bendahara Negara sebagai otoritas baru untuk pengeluaran kas negara.
Dua hari kemudian, pada 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat yang menolak keabsahan
uang NICA di wilayah Republik. Uang NICA mulai masuk secara masif ke Indonesia sejak akhir 1945, dan pada 6 Maret 1946, NICA secara resmi mengedarkan mata uangnya di beberapa wilayah yang dikuasai Sekutu dan Belanda.
Peredaran uang ini bertujuan melemahkan posisi ekonomi Republik dan merebut kembali kendali atas sistem moneter.
Ilustrasi Uang NICA. (Koleksi Museum Bank Indonesia)
Oleh karena itu, pada 3 Oktober 1945, diumumkan bahwa untuk sementara hanya ada empat jenis uang yang diakui sebagai alat tukar di wilayah Republik, yakni:
De Javasche Bank,
De Japansche Regeering,
Dai Nippon Emisi, dan
Dai Nippon Teikoku Seibu. Namun, pemerintah segera menyiapkan pencetakan uang sendiri, yakni Oeang Republik Indonesia (ORI), sebagai solusi jangka panjang.
Pembentukan Panitia Pencetakan ORI
Untuk merealisasikan cita-cita memiliki mata
uang sendiri, pemerintah membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945.
Panitia ini dipimpin oleh T.R.B. Sabaroedin dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan melibatkan berbagai unsur dari Kementerian Keuangan, Kementerian Penerangan, perbankan, serta serikat buruh percetakan. Panitia ini bertugas menyiapkan seluruh proses teknis dan administratif pencetakan uang negara pertama Republik Indonesia.
Desain ORI dibuat sederhana namun sarat makna. Di tengah keterbatasan teknis dan ancaman militer dari Belanda, proses pencetakan berlangsung dalam kondisi darurat. Meski begitu, ORI tetap memuat simbol-simbol kebangsaan dan tanggal emisi yang menunjukkan kedaulatan: 17 Oktober 1945.
Sayangnya, distribusi uang tersebut baru bisa dilakukan hampir setahun kemudian karena berbagai hambatan, termasuk gangguan langsung dari pasukan NICA yang masih menduduki sejumlah wilayah di Indonesia.
Distribusi ORI dan Hambatan Keamanan
Ilustrasi ORI. (Koleksi Museum Bank Indonesia)
Pencetakan dimulai pada Januari 1946 di Jakarta, dilakukan secara intensif dari pukul 07.00 hingga 22.00 setiap harinya. Namun pada Mei 1946, karena situasi keamanan di ibu kota semakin memburuk, pencetakan harus dipindahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo.
Distribusi ORI juga menghadapi tantangan besar. Wilayah Indonesia saat itu masih berada dalam suasana konflik, dan tidak semua daerah dapat dijangkau oleh pemerintah pusat. Bahkan ketika ORI telah resmi berlaku pada 30 Oktober 1946 pukul 00.00 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946, uang ini tidak serta-merta tersedia merata.
Rakyat turut ambil bagian dalam perjuangan ini. Dengan penuh keberanian, mereka menyelundupkan ORI ke daerah-daerah yang masih diduduki Belanda dan menolak keras penggunaan uang NICA.
ORI akhirnya resmi diedarkan ke publik pada 30 Oktober 1946, yang kini diperingati sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Menariknya, meskipun saat ORI beredar A.A. Maramis sudah tidak menjabat sebagai Menteri Keuangan, namanya tetap tercantum pada lembaran uang karena perannya dalam tahap awal persiapan.
Perkembangan dan Kebijakan Moneter Lanjutan
Ilustrasi ORIDA Provinsi Sumatera. (Koleksi Museum Bank Indonesia)
Setelah ORI beredar, beberapa daerah juga mencetak Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) sebagai bentuk respons atas kondisi lokal. Karena keterbatasan akses dan kebutuhan transaksi lokal, pemerintah daerah meminta izin kepada pusat untuk mencetak ORI daerah yang berlaku terbatas secara geografis dan waktu.
Beberapa contoh ORIDA yang sempat beredar adalah ORIPS (Sumatera), ORIDABS (Banten), ORIBA (Banda Aceh), dan ORITA (Tapanuli). ORIDA menjadi alternatif penting dalam mempertahankan kedaulatan ekonomi di daerah-daerah yang sulit dijangkau pemerintah pusat.
Saat agresi militer Belanda I melanda Sumatera, pencetakan ORIPS bahkan dipindahkan dari Tapanuli ke Bukittinggi untuk menghindari penyitaan oleh Belanda. Dari Bukittinggi, uang ORIPS berhasil disuplai ke berbagai wilayah di Pulau Sumatera.
Namun, karena masa itu masih diliputi konflik bersenjata dan belum adanya sistem statistik ekonomi yang kuat, sulit untuk mengukur jumlah
uang yang beredar maupun performa indikator ekonomi lainnya.
Ilustrasi Uang Republik Indonesia Serikat. (Koleksi Museum Bank Indonesia)
Pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, Indonesia memasuki masa Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 31 Mei 1950, pemerintah RIS mengeluarkan
uang kertas baru dalam satuan Rupiah RIS. Namun, sistem ini hanya berlangsung singkat karena pada 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan (NKRI).
Dalam rangka menstabilkan keuangan negara, pada 1951-1952 pemerintah menerapkan kebijakan “Gunting Sjafruddin”. Kebijakan ini memotong nilai
uang kertas di atas Rp5 dengan tujuan mengurangi jumlah uang beredar serta menggalang dana melalui Obligasi Republik Indonesia.
Lahirnya Bank Indonesia
Foto: Gedung Kantor Pusat De Javasche Bank sebelum dijadikan Museum Bank Indonesia. (Wikimedia Commons)
Tepat pada 1 Juli 1953,
De Javasche Bank dinasionalisasi dan berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI), yang ditetapkan sebagai bank sentral. Selanjutnya, hanya BI yang memiliki hak eksklusif untuk menerbitkan
uang kertas dan logam. Kebijakan ini diperkuat melalui UU No. 13 Tahun 1968 yang menegaskan efisiensi dan keseragaman sistem moneter nasional hanya bisa dicapai melalui satu otoritas tunggal.
Oeang Republik Indonesia (ORI) bukan sekadar alat pembayaran, melainkan simbol perjuangan ekonomi dan politik dalam mempertahankan kedaulatan negara. Proses panjang pencetakan dan distribusinya di tengah gejolak revolusi menunjukkan tekad kuat pemerintah dan rakyat Indonesia untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Dari ORI hingga terbentuknya Bank Indonesia, sejarah mata
uang nasional mencerminkan perjalanan bangsa dalam membangun sistem keuangan yang mandiri, berdaulat, dan berkarakter Indonesia. Mewarisi semangat ini, generasi masa kini diharapkan terus menjaga kedaulatan ekonomi sebagai bagian tak terpisahkan dari kemerdekaan sejati.