Perjalanan Ekonomi Indonesia 1945-2025: Dekade per Dekade

Demo Tritura era Bung Karno. (Istimewa)

Perjalanan Ekonomi Indonesia 1945-2025: Dekade per Dekade

Riza Aslam Khaeron • 5 August 2025 16:02

Jakarta: Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, refleksi terhadap perjalanan panjang bangsa menjadi relevan untuk dilakukan, termasuk di bidang ekonomi.

Delapan dekade setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah melewati berbagai fase penting dalam pembangunan ekonomi nasional, mulai dari krisis pasca-kolonial, ledakan pertumbuhan, reformasi pasca-krisis, hingga pemulihan dari pandemi global.

Transformasi ekonomi Indonesia tidaklah terjadi dalam satu garis lurus. Setiap dekade mencerminkan dinamika yang khas, baik dari sisi tantangan, kebijakan, maupun pencapaian. Dari kekacauan moneter tahun 1940-an hingga stabilitas pertumbuhan di awal 2020-an, setiap era menyumbang batu pijakan bagi posisi Indonesia hari ini sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Berikut adalah rangkaian perjalanan ekonomi Indonesia secara kronologis, dari dekade ke dekade sejak 1945 hingga 2025.
 

1940-an: Awal Kemerdekaan dan Krisis Ekonomi

Pada paruh akhir 1940-an, kondisi ekonomi Indonesia sangat kacau balau pasca Proklamasi 1945. Pemerintah Indonesia menghadapi hiperinflasi akibat beredarnya beberapa mata uang sekaligus (uang Jepang, uang Hindia Belanda, dan De Javasche Bank) yang tak terkendali, sementara kas negara, bea cukai, dan pemasukan pajak benar-benar kosong.

Belanda memperparah situasi dengan blokade ekonomi yang menutup pintu perdagangan luar negeri Indonesia, sehingga ekspor terhenti total. Pemerintah berupaya mengatasi kekacauan moneter dengan menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI) pada akhir 1946 sebagai mata uang nasional baru.

Meski demikian, sepanjang 1945–1949 fokus utama negara adalah mempertahankan kemerdekaan secara politis-militer, sehingga upaya pembangunan ekonomi belum bisa dijalankan secara utuh hingga kedaulatan benar-benar diakui pada tahun 1949.
 

1950-an: Rehabilitasi, Nasionalisasi, dan Munculnya Ekonomi Terpimpin

Pada 1950-an, Indonesia mulai membangun kembali ekonominya pasca pengakuan kedaulatan. Namun, kondisi masih rapuh: utang warisan kolonial, defisit anggaran, dan kerusakan infrastruktur menjadi tantangan utama. Seringnya pergantian kabinet membuat kebijakan ekonomi tidak stabil.

Pemerintah sempat terbantu oleh lonjakan ekspor saat Perang Korea 1950–1951, namun dampaknya hanya sesaat. Setelahnya, ekspor stagnan dan daya saing menurun. Berbagai kebijakan dicoba, seperti Gunting Syafruddin, Program Benteng, dan sistem Ali-Baba untuk memperkuat ekonomi pribumi.

Pada 1958, pemerintah menasionalisasi perusahaan Belanda, menandai dimulainya peran dominan negara dalam ekonomi. Setahun kemudian, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menetapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Ekonomi Indonesia pun resmi memasuki era terpimpin dengan model pembangunan yang terpusat.
 

1960-an: Ekonomi Terpimpin, Krisis Hiperinflasi, dan Awal Orde Baru

Ekonomi Indonesia pada 1960-an dikelola melalui sistem ekonomi terpimpin, namun kebijakan yang mengutamakan proyek-proyek mercusuar menyebabkan defisit membengkak. Untuk menutupnya, pemerintah mencetak uang dalam jumlah besar, memicu hiperinflasi yang memuncak hingga sekitar 600% pada 1965. Daya beli masyarakat runtuh, ekspor menurun, dan pertumbuhan ekonomi bahkan sempat negatif.

Rencana Pembangunan Delapan Tahun yang dicanangkan pemerintah gagal total. Pada 1965, APBN defisit empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya, dan utang luar negeri menumpuk.

Setelah peristiwa G30S, Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dan mulai menstabilkan ekonomi. Pemerintah menerapkan sanering, memangkas subsidi, serta membuka diri pada investasi asing. Tahun 1967, disahkan UU Penanaman Modal Asing, dan 1968 dibentuk Bappenas.

Melalui Repelita I, ekonomi kembali tumbuh. Menjelang 1970, pertumbuhan PDB mencapai 10,92%, menandai akhir dekade yang penuh gejolak dan awal era Orde Baru.
 

1970-an: Boom Minyak dan Laju Pembangunan Orde Baru

Ekonomi Indonesia melaju pesat di bawah Orde Baru, dengan pertumbuhan rata-rata 7% per tahun dan sempat menyentuh dua digit di awal dekade. Kebijakan Repelita I–III fokus pada pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan revolusi hijau, yang menghasilkan swasembada beras pada awal 1980-an.

Lonjakan harga minyak dunia pada 1973 dan 1979 menjadi berkah besar bagi Indonesia sebagai pengekspor minyak. Devisa melimpah dimanfaatkan untuk proyek-proyek besar. Kinerja ekonomi yang impresif membuat Indonesia sempat dijuluki sebagai salah satu “Macan Asia” baru.

Namun di balik pertumbuhan, struktur ekonomi terpusat pada negara dan kroni penguasa. Sekitar 70% aktivitas ekonomi dikuasai kelompok terbatas, dan praktik KKN mulai mengakar. Pada 1978, rupiah didevaluasi sebagai respons atas tekanan ekspor nonmigas. Meski gemilang, dekade ini juga menanam benih masalah struktural yang baru terasa di era berikutnya.
 

1980-an: Diversifikasi dan Deregulasi Pasca Boom Minyak

Memasuki 1980-an, Indonesia masih menikmati dampak boom minyak, dengan pertumbuhan PDB sempat menyentuh 10% pada 1980. Namun, kejatuhan harga minyak tahun 1982 dan 1986 memukul keras penerimaan negara, memaksa pemerintah mengubah arah kebijakan ekonomi.

Untuk mengurangi ketergantungan pada migas, pemerintah Orde Baru meluncurkan reformasi besar: deregulasi perdagangan dan perbankan, serta reformasi pajak pada 1983. Langkah-langkah ini mendorong peran swasta dan memperluas basis ekonomi nasional. Sektor manufaktur dan ekspor nonmigas, seperti tekstil, kayu lapis, dan elektronik, tumbuh pesat di paruh kedua dekade ini.

Rata-rata pertumbuhan PDB selama 1980-an tetap terjaga di kisaran 6% per tahun. Menjelang akhir dekade, ekonomi kembali stabil dan Indonesia menarik gelombang investasi asing, terutama dari Jepang dan Korea Selatan. Indonesia mulai dikenal sebagai basis produksi murah di Asia Tenggara.

Meski reformasi berhasil mendiversifikasi ekonomi, muncul risiko baru dari meningkatnya utang luar negeri swasta dan lemahnya pengawasan sektor keuangan. Ketidaksiapan menghadapi liberalisasi ini kelak menjadi salah satu penyebab rapuhnya fondasi ekonomi menjelang krisis 1997.
 

1990-an: Pertumbuhan Tinggi dan Krisis Finansial Asia

Awal 1990-an menjadi masa keemasan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Didukung arus modal asing, ekspor yang kuat, dan iklim investasi yang positif, laju pertumbuhan PDB kerap melampaui 7% per tahun. Pada 1995–1996, pertumbuhan hampir mencapai 8%, menjadikan Indonesia salah satu ekonomi dengan kinerja terbaik di Asia dan kembali disebut sebagai calon “Macan Asia”.

Sektor manufaktur berkembang pesat, begitu pula sektor jasa dan konstruksi. Namun di balik keberhasilan ini, fondasi ekonomi semakin rapuh. Banyak perusahaan dan bank menumpuk utang luar negeri jangka pendek dalam dolar, sementara tata kelola keuangan longgar dan korupsi makin meluas. Defisit transaksi berjalan juga meningkat dan ditutupi oleh aliran modal portofolio yang tidak stabil.

Kerapuhan itu terkuak saat Krisis Finansial Asia melanda. Setelah baht Thailand anjlok pada Juli 1997, krisis menyebar ke Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari sekitar Rp2.500 per dolar menjadi lebih dari Rp10.000, bahkan sempat menyentuh Rp15.000 pada pertengahan 1998. Inflasi melonjak, sektor perbankan kolaps, dan ekonomi terkontraksi hingga -13,13% pada 1998—kontraksi terdalam sepanjang sejarah modern Indonesia.

Krisis ekonomi segera berkembang menjadi krisis politik. Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Pemerintahan transisi di bawah Presiden BJ Habibie menandai awal Reformasi dan langsung mengambil langkah penyelamatan: kerja sama dengan IMF, penutupan puluhan bank, dan peluncuran jaring pengaman sosial.

Pada 1999, ekonomi kembali tumbuh positif sebesar 0,79%, menandai awal pemulihan dan era baru dalam kebijakan ekonomi nasional.
 

2000-an: Reformasi dan Ketahanan Ekonomi

Setelah krisis besar di akhir 1990-an, Indonesia memasuki dekade 2000-an dengan agenda reformasi yang lebih terarah. Pemerintah memperkuat pondasi ekonomi melalui kebijakan strategis seperti independensi Bank Indonesia pada 1999 dan penerapan desentralisasi fiskal sejak 2001, yang memberi kewenangan lebih besar kepada daerah dalam pengelolaan anggaran.

Pemulihan ekonomi mulai terasa. PDB tumbuh 4,92% pada tahun 2000, naik tajam dari hampir nol pada tahun sebelumnya. Konsumsi dan investasi perlahan bangkit meski situasi politik masih dinamis. Stabilitas membaik setelah Pemilu 2004 yang berlangsung damai dan demokratis, membawa Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden terpilih pertama secara langsung.

Pemerintah menjaga disiplin fiskal melalui UU Keuangan Negara 2003, membatasi defisit anggaran di bawah 3% PDB. Pertumbuhan ekonomi menguat, rata-rata 5–6% per tahun, ditopang lonjakan harga komoditas seperti sawit, batubara, dan karet.

Tahun 2007, ekonomi tumbuh 6,35% – tertinggi sejak era Orde Baru. Kemiskinan dan pengangguran perlahan menurun.

Saat Krisis Finansial Global 2008 melanda, Indonesia tetap tangguh. Berkat pasar domestik yang kuat dan sistem keuangan yang lebih hati-hati, Indonesia terhindar dari resesi. Pertumbuhan melambat menjadi 4,6% pada 2009 sebelum naik kembali pada 2010.
 
Baca Juga:
Apa itu Amendemen UUD 1945? Dampak dan Prosesnya
 

2010-an: Stabilitas Pertumbuhan dan Akselerasi Infrastruktur

Sepanjang dekade 2010-an, ekonomi Indonesia tumbuh stabil di kisaran 5% per tahun. Di awal dekade, pemerintahan SBY periode kedua sempat mencatat pertumbuhan tinggi hingga 6,5% pada 2011, didorong oleh investasi dan harga komoditas yang masih tinggi.

Namun sejak 2012, pertumbuhan melambat akibat penurunan harga ekspor unggulan dan kondisi eksternal global yang menekan.

Transisi kekuasaan ke Presiden Joko Widodo pada 2014 berlangsung mulus. Pemerintahannya fokus pada pembangunan infrastruktur besar-besaran dan reformasi struktural. Sejak 2015, subsidi BBM dialihkan untuk membiayai proyek jalan tol, pelabuhan, bandara, hingga pembangkit listrik.

Kebijakan deregulasi juga digenjot melalui paket-paket ekonomi guna mempermudah perizinan dan menarik investasi.

Meski infrastruktur berkembang pesat, pertumbuhan PDB belum melonjak, tetap berada di kisaran 5%. Hal ini mengindikasikan tantangan produktivitas dan potensi jebakan negara berpendapatan menengah. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama ekonomi, sementara investasi dan ekspor belum optimal.

Menjelang akhir dekade, pemerintah mulai mendorong hilirisasi industri, termasuk larangan ekspor mineral mentah, dan penguatan ekonomi digital. Inflasi terkendali, rupiah sempat tertekan saat episode taper tantrum 2013 dan 2018, tetapi stabil kembali. Cadangan devisa meningkat, dan pada 2019 PDB Indonesia mendekati US$1 triliun, menjadikannya ekonomi terbesar ke-16 dunia.
 

2020–2025: Pandemi dan Pemulihan Ekonomi Menuju Visi 2045

Awal dekade 2020 ditandai dengan krisis global akibat pandemi Covid-19. Untuk pertama kalinya sejak 1998, ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar -2,07% pada 2020. Aktivitas ekonomi terhenti, konsumsi anjlok, dan investasi melemah akibat pembatasan sosial serta tekanan global.

Pemerintah merespons cepat dengan stimulus fiskal besar-besaran: bantuan sosial tunai, subsidi UMKM, dan anggaran kesehatan. Defisit anggaran diperbolehkan melebihi 3% PDB selama 2020–2022, dan Bank Indonesia menurunkan suku bunga serta membeli SBN untuk pembiayaan krisis.

Hasilnya mulai terlihat pada 2021, ketika ekonomi kembali tumbuh 3,70%, lalu menguat menjadi 5,31% pada 2022.

Selain penanganan pandemi, reformasi struktural tetap berjalan. UU Cipta Kerja disahkan pada 2020 untuk mempercepat investasi dan memperbaiki fleksibilitas tenaga kerja. Pemerintah juga membentuk Indonesia Investment Authority (INA) sebagai sovereign wealth fund guna menarik modal asing ke infrastruktur nasional.

Di sisi eksternal, perang Rusia–Ukraina sejak 2022 membawa dampak ganda: harga komoditas ekspor seperti batubara dan CPO melonjak, memberi windfall bagi neraca perdagangan, namun juga memicu inflasi impor dan penyesuaian harga BBM dalam negeri.

Setelah Pemilu 2024, Presiden Prabowo Subianto meluncurkan visi ekonomi baru yang menargetkan pertumbuhan 7–8% per tahun. Pada Februari 2025, pemerintah resmi mendirikan Danantara, dana kekayaan negara baru senilai US$20 miliar, untuk mendukung sektor strategis seperti energi, manufaktur, pangan, dan teknologi.

Program makan gratis untuk puluhan juta pelajar dan ibu hamil diluncurkan sebagai bagian dari agenda pemerataan.

Stimulus tambahan digulirkan pada pertengahan 2025 untuk menjaga konsumsi, sementara strategi fiskal diperketat melalui penghematan anggaran besar-besaran. Di tengah ketatnya likuiditas global, perekonomian Indonesia tetap tumbuh di kisaran 4,8% pada pertengahan 2025, ditopang ekspor dan program hilirisasi.

Meski pertumbuhan sedikit melambat dibanding periode sebelumnya, pemerintah optimistis ekonomi akan menguat kembali menuju visi Indonesia Emas 2045.

Delapan dekade sejak kemerdekaan, perjalanan ekonomi Indonesia mencerminkan ketangguhan dalam menghadapi krisis dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan global. Dari hiperinflasi pascakolonial, ledakan minyak, krisis 1998, hingga pandemi Covid-19, bangsa ini terus berupaya menyeimbangkan stabilitas makro dengan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Kini, di usia yang hampir ke-80, Indonesia berdiri sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan ambisi besar menuju negara maju pada 2045. Meski tantangan struktural masih membayangi, pondasi yang dibangun dari masa ke masa memberi harapan bahwa visi Indonesia Emas bukan sekadar cita-cita, melainkan tujuan yang dapat dicapai dengan kerja keras dan konsistensi kebijakan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Surya Perkasa)