Anggota Komisi IV, Sonny T. Danaparamita. Dok. Istimewa
Achmad Zulfikar Fazli • 23 May 2025 20:16
Jakarta: Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dinilai sangat krusial. Apalagi, urusan pangan menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Kalau bicara urgensinya, tentu UU soal pangan adalah penting dan mendesak. Sebagaimana kata Ir. Soekarno (Presiden pertama RI) sang proklamator bangsa, persoalan pangan adalah persoalan mati hidupnya sebuah bangsa," kata Anggota Komisi IV, Sonny T. Danaparamita, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025.
Dia menjelaskan pengelolaan pangan di Indonesia masih penuh =tantangan. Berdasarkan dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, Indonesia masih menghadapi kurang optimalnya produksi pangan.
Untuk memenuhi kebutuhan akibat kurangnya produksi pangan ini, kata dia, pemerintah kemudian melakukan upaya impor pangan. Pada 2024, defisit produksi beras tercatat sebesar 367.595 ton, dan kebutuhan cadangan beras pemerintah (CBP) sampai dengan 3 juta ton menyebabkan ketergantungan impor mencapai 4,3 juta ton, dan diperkirakan dapat meningkat hingga 6,1 juta ton pada 2029.
Pada tahun yang sama, produksi daging sapi Indonesia mengalami defisit hingga 288.261 ton. Akibatnya, hampir 95 persen kebutuhan tambahan dipenuhi melalui impor. Kondisi serupa terjadi pada komoditas susu sapi, serta komoditas pangan maupun yang terkait dengan pangan.
“Berbicara tentang impor, saat ini kebijakan impor pangan kita memang tidak konsisten. Dan harus diakui, salah satu penyebabnya karena ada pasal (yakni pasal 14 dan pasal 36) dalam undang-undang tentang pangan kita yang berpotensi menyebabkan terjadinya hal itu,” ujar legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Baca Juga:
Tekan Inflasi, Farhan Bakal Masifkan Gerakan Pangan Murah di Bandung |