Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. (Ebet)
Media Indonesia • 10 November 2025 07:46
BELUM genap setahun sejak dilantik, tiga kepala daerah sudah ditangkap KPK. Mengapa para kepala daerah yang baru menjabat sejak 20 Februari 2025 justru menceburkan diri ke dalam kubangan korupsi?
Ketiganya ialah Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, Gubernur Riau Abdul Wahid, dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko. Mereka terjaring dalam operasi tangkap tangan oleh KPK.
Semakin panjang saja daftar kepala daerah terlibat dalam korupsi. Data KPK menyebutkan sudah ada 171 bupati dan wali kota yang terjerat oleh kasus korupsi, untuk gubernur sudah ada 30 orang.
Data itu juga mengonfirmasi adanya kondisi darurat korupsi di daerah. Tidak main-main, sekitar 51% kasus yang ditangani KPK saat ini terkait dengan korusi di daerah.
Akar masalahnya sangat jelas, yaitu biaya pilkada yang terlampau mahal. Kepala daerah yang menjabat seumur jagung itu melakukan korupsi untuk mengisi kembali pundi-pundi kekayaan yang dikuras habis guna membiayai pemenangan pilkada.
Ibarat peribahasa besar pasak daripada tiang. Biaya yang dikeluarkan untuk memenangi pilkada melebihi batas kemampuan. Hasil penelitian KPK 2017 menyebut 82,3% calon kepala daerah dibantu pendanaan sponsor.
Kajian Kemendagri 2015 menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk menjadi bupati/wali kota sekitar Rp20 miliar-Rp30 miliar, gubernur sekitar Rp20 miliar-Rp100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp5 miliar selama satu periode.
Pos pengeluaran saat pilkada dimulai dari pencalonan di tingkat partai seperti biaya konsolidasi, biaya mahar, dan menyewa konsultan untuk pencitraan diri. Ada biaya kampanye, biaya saat pemilihan, termasuk beli suara dan biaya saksi. Setelah pilkada, masih ada biaya jika terjadi perselisihan untuk membayar pengacara.
Fakta yang disodorkan dari hasil penelitian KPK menyebutkan terdapat calon kepala daerah mengeluarkan dana pilkada melebihi harta kas dan total harta kekayaan. Kekurangan dana itu ditanggung cukong yang besarannya melebihi 50% dari total biaya yang dikeluarkan saat pilkada.
Tidak ada makan siang gratis, tidak ada sumbangan cukong tanpa mengharapkan balasan. Pada titik itu terjadi pemufakatan jahat. Sebagian besar calon kepala daerah memenuhi permintaan cukong terkait dengan perizinan bisnis, kemudahan untuk ikut serta tender, dan keamanan dalam menjalankan bisnis.
Baca Juga:
KPK Ungkap Modus 'Jatah Preman' dalam Kasus Korupsi Gubernur Riau |