Foto: Gaddafi berpidato di Sidang Majelis Umum PBB. (Jason Szenes/EPA)
Whisnu Mardiansyah • 20 October 2025 08:37
Jakarta: Muammar Khadafi mengakhiri 42 tahun pemerintahannya dengan cara paling tragis. Pemimpin kontroversial itu tewas pada 20 Oktober 2011 di kota kelahirannya, Sirte, setelah delapan bulan perang saudara menghancurkan Libya. Kematiannya bukan sekadar pergantian kekuasaan, melainkan babak penutup era pemerintahan otoriter sekaligus pembuka lembaran baru penuh ketidakpastian bagi negara Afrika Utara tersebut.
Khadafi merebut kekuasaan pada 1 September 1969 melalui kudeta tanpa darah terhadap Raja Idris I. Saat itu, perwira militer berusia 27 tahun itu memproklamirkan diri sebagai Pemimpin Revolusi. Selama empat dekade berikutnya, ia membangun sistem pemerintahan unik yang menolak demokrasi Barat dan monarki tradisional.
Di bawah kepemimpinannya, Libya mengalami modernisasi pesat. Pendapatan dari minyak digunakan untuk membangun infrastruktur, pendidikan gratis, dan sistem kesehatan nasional. Namun, kemajuan material itu dibayar mahal dengan penindasan kebebasan berpendapat dan sistem politik satu partai.
"Khadafi menciptakan kultus individu di sekelilingnya. Setiap kebijakan harus mendapat persetujuan langsung darinya," jelas Dr. Ahmed Al-Mansouri, pengamat politik Timur Tengah dari University of Tripoli.
Awal 2011, gelombang protes Arab Spring menyebar dari Tunisia dan Mesir ke Libya. Demonstrasi pertama pecah di Benghazi pada 15 Februari 2011, menuntut pengunduran diri Khadafi. Pemerintah merespons dengan kekerasan militer, memicu perang saudara antara pasukan loyalis dan pasukan pemberontak.
Pada 17 Maret 2011, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973 yang mengizinkan intervensi militer untuk melindungi warga sipil. NATO kemudian memimpin operasi udara mendukung pasukan pemberontak. Situasi ini mempercepat kejatuhan rezim Khadafi.
Pada Agustus 2011, ibu kota Tripoli jatuh ke tangan pemberontak. Khadafi melarikan diri ke Sirte, kota kelahirannya yang menjadi benteng terakhir. Selama dua bulan, kota itu dikepung pasukan anti-Khadafi.
Pagi 20 Oktober 2011, Khadafi mencoba melarikan diri dari Sirte dengan konvoi 75 kendaraan. Namun, pergerakannya terdeteksi pesawat pengintai NATO. Serangan udara menghantam konvoi tersebut dan memaksa Khadafi bersembunyi di pipa drainase.
"Kami menemukannya bersembunyi seperti tikus ketakutan. Dia memohon untuk tidak ditembak," kenang Mohammed al-Bibi, salah satu milisi yang menangkap Khadafi.
Proses penangkapan Khadafi terekam dalam video amatir yang kemudian viral. Rekaman menunjukkan mantan pemimpin itu dalam kondisi terluka, dikelilingi massa marah. Beberapa jam kemudian, ia dinyatakan tewas dengan luka tembak di kepala dan dada.
Pemerintah transisi NTC menyatakan Khadafi tewas dalam baku tembak. Namun, bukti video dan laporan medis membantah klaim tersebut. Hasil autopsi menunjukkan kemungkinan besar ia dieksekusi setelah ditangkap.
"Kematian Khadafi jelas merupakan eksekusi di luar proses hukum. Ini pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional," ungkap Sarah Leah Whitson dari Human Rights Watch.
Kematian Khadafi mendapat respons beragam dari komunitas internasional. Negara-negara Barat menyambutnya sebagai kemenangan demokrasi. Presiden AS Barack Obama menyebutnya sebagai "peringatan bagi diktator di mana pun."
Sebaliknya, beberapa pemimpin Afrika dan organisasi hak asasi manusia mengecam cara kematiannya. Mereka menegaskan setiap orang berhak atas pengadilan yang adil terlepas dari kejahatan yang dilakukan.
Harapan akan Libya yang demokratis dan stabil pupus dalam beberapa tahun setelah kejatuhan Khadafi. Negara itu terpecah oleh perebutan kekuasaan antara berbagai faksi milisi. Pemerintah pusat kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah.
Ekonomi Libya yang dikuasai minyak mengalami kemerosotan tajam. Produksi minyak turun dari 1,6 juta barel per hari menjadi di bawah 200.000 barel pada 2020. Konflik bersenjata terus berlanjut dengan melibatkan kekuatan internasional.
"Kekosongan kekuasaan pasca-Khadafi menciptakan vakum yang diisi oleh milisi bersenjata. Libya menjadi contoh bagaimana transisi tanpa perencanaan matang bisa berakibat fatal," papar Dr Fatima al-Zahra, peneliti dari Libyan Future Institute.
Khadafi meninggalkan warisan ambivalen bagi Libya. Di satu sisi, ia dikenang sebagai pemimpin otoriter yang menindas kebebasan dan menghabiskan sumber daya negara untuk proyek megalomaniannya. Di sisi lain, beberapa kebijakan sosialnya masih dikenang positif oleh sebagian masyarakat.
Sistem pendidikan dan kesehatan gratis yang ia bangun merupakan yang terbaik di Afrika Utara pada masanya. Namun, warisan terbesarnya justru ketiadaan institusi negara yang kuat, yang membuat Libya sulit bangkit setelah kepergiannya.
Kematian Khadafi memberikan pelajaran penting tentang intervensi asing dan transisi politik. Intervensi NATO memang berhasil menggulingkan rezim otoriter, tetapi gagal menyiapkan mekanisme pemerintahan pengganti.
Proses rekonsiliasi nasional yang terabaikan menyebabkan fragmentasi politik berkepanjangan. Libya menjadi contoh bagaimana perubahan rezim tanpa persiapan matang justru menciptakan instabilitas jangka panjang.
Lebih dari satu dekade setelah kematian Khadafi, Libya masih berjuang menemukan jalan menuju stabilitas. Kematian tragis sang pemimpin di Sirte menjadi simbol berakhirnya era tertentu, sekaligus awal dari kompleksitas baru yang mungkin lebih sulit diurai.
Warisan Khadafi masih membayangi setiap upaya rekonstruksi politik dan ekonomi Libya. Pelajaran dari periode pemerintahannya dan transisi berdarah pasca-2011 menjadi bahan refleksi penting bukan hanya bagi Libya, tetapi bagi seluruh dunia yang memperhatikan dinamika kekuasaan dan transisi politik.
*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.