Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
Media Indonesia • 28 December 2023 06:05
SALAH satu gaya berkampanye calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan belakangan viral di sejumlah platform media sosial. Desak Anies, tajuk kegiatan kampanye itu, beberapa kali memuncaki trending topic di platform X. Potongan maupun video utuh dari agenda Desak Anies di sejumlah daerah juga ditonton jutaan pemirsa di Youtube.
Orang banyak tertarik sekaligus mengapresiasi Desak Anies karena menganggap itu sebagai model kampanye tatap muka yang memang sudah seharusnya dilakukan calon pemimpin. Ada tanya jawab aktif. Ada dialog yang intens dan langsung antara publik dan kandidat pemimpin. Bukan sekadar model cerdas cermat dengan daftar pertanyaan yang normatif.
Desak Anies juga banyak dipuji karena konsep kampanyenya yang bersifat inklusif. Peserta kampanye tidak eksklusif hanya pendukung atau simpatisan. Semua orang boleh ikut bergabung. Bahkan mereka juga bisa ikut mengajukan pertanyaan secara terbuka kepada narasumber. Pendeknya, siapa pun boleh tanya apa pun.
Dalam salah satu episode Desak Anies yang berlangsung di Mataram, NTB, misalnya, salah seorang penanya bahkan wisatawan bule. Ia bertanya soal gagasan Anies tentang pengembangan pariwisata Indonesia selain hanya berfokus ke Bali. Lalu, saat Desak Anies di Lampung, ada satu peserta yang mengenakan kaus bergambar capres lain, entah dia pendukung capres tersebut atau sekadar memakai kausnya, juga diberi kesempatan untuk bertanya.
Tidak cuma yang sulit, pertanyaan yang sensitif--anak sekarang menyebutnya pertanyaan 'pinggir jurang'--juga bebas dilontarkan, dan mesti dijawab saat itu pula oleh Anies sebagai narasumber tunggal.
Pada episode Total Politik X Desak Anies di Jakarta, yang sebagian besar pesertanya anak muda yang belum menentukan pilihan dan berpotensi golput, pertanyaan yang muncul lebih ‘ngeri-ngeri’ lagi. Anies ditanya tentang sikap dan pandangannya antara lain terkait dengan SKB 2 menteri tentang pendirian rumah ibadah, soal komunitas LGBT, soal ganja untuk kebutuhan medis, dan bagaimana dia bakal menyusun kabinet saat berkuasa nanti.
Dengan begitu, rasanya tidak ada yang bakal menyanggah bahwa kampanye model seperti ini punya risiko tinggi. Si kandidat harus siap dikuliti. Ia mesti siap didesak, dicecar pertanyaan apa saja. Salah jawab sedikit saja, boleh jadi akan berbalik menjadi serangan, dijadikan sasaran tembak oleh lawan-lawan politiknya.
Risiko lainnya ialah bila si narasumber sedari awal memang tak punya bekal pemikiran dan gagasan yang kuat untuk menjawab rupa-rupa pertanyaan yang muncul. Zonk. Bila itu terjadi, publik serta-merta bakal mempermalukannya. Barangkali, faktor risiko tinggi inilah yang membuat capres-capres lain di Pemilu 2024 maupun pemilu-pemilu sebelumnya tak berani melakukannya.
Baca juga: Anies Optimistis Mampu Rebut Hati Pemilih di Jawa Timur |